Misi Imamah dan Jihad Intelektual Imam Ja’far as Shadiq As


Jika dilihat dan ditelaah secara cermat, keadaan masyarakat pada masa Imam Jafar as Shadiq) sudah sangat menyimpang dari ajaran Rasulullah Saw. Sebut saja maraknya aliran-aliran yang mulai menciptakan ajaran-ajaran mereka sendiri seperti mu’tazilah, zandaqah, ekstrimisme dan lain-lain yang membuat perbedaan dalam Islam semakin mencolok. Hal ini terjadi lantaran perbuatan para pemimpin Bani Umayyah maupun Abbasiyah yang berusaha memisahkan Umat Islam dari Ahlulbait Muhammad al Mustafa. Ya, di tangan penguasa itu agama hanya dijadikan alat propaganda demi melanggengkan kekuasaan mereka semata. Mereka menyewa ulama yang hubbud-dunya untuk menyebarkan politik-politik kotor mereka. Hal ini dapat dilihat dalam penyelewengan-penyelewengan dalam Islam, dari penyelewengan tafsir al Qur’an hingga sejarah Nabi Saw.

Penyelewengan Terhadap Tafsir al Qur’an

Para penguasa Bani Umayyah menggunakan kisah-kisah Israiliyat (khayalan-khayalan) untuk menafsirkan ayat-ayat al Qur’an. Seperti yang diriwayatkan bahwa Muawwiyah berkata kepada Ka’ab, “kamu berpendapat bahwa Zulkarnain mengikat kudanya pada bintang-bintang?” Ka’ab menjawab: jika kamu berkata demikian maka sesungguhnya Allah telah berfirman ‘dan kami telah memberikan kepadanya sebab (untuk mencapai) segala sesuatu”i. Maksudnya ialah Ka’ab meyakini kalau Zulkarnain mengikat kudanya pada bintang-bintang. Sungguh akal akan menolak hal ini. Walaupun apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi, akan tetapi ini tidak membuat Allah akan bertindak seenaknya, karena hal itu berarti Allah telah berbuat dzalim terhadap hambaNya. Dan mustahil Allah berbuat dzolim

Penyelewengan Terhadap Hadits Nabi Saw

Diriwayatkan dalam Shahih Tirmidzi bahwa Nabi Muhammad Saw berdo’a untuk Muawwiyah bin Abu Sufyan “Ya Allah, jadikanlah ia sebagai orang yang memberi petunjuk dan tempat memberi petunjuk serta berilah petunjuk dengannya”ii Lihatlah, dengan mudahnya perkataan suci Nabi Saw dibuat-buat seenaknya saja! Pantaskah Nabi Saw mendoakan seorang pembunuh washi-nya (penerima dan pengemban wasiatnya)? Mendoakan pembunuh cucunya.yaitu Al Hasan (Imam Hasan)? Pantaskan Nabi Saw mendoakan orang yang menancapkan al Qur’an keujung tombak? Tidak! Hadits ini adalah ulah tangan jahil Bani Umayyah melalui para ulama berhati serigala mereka!

Penyelewengan Terhadap Sejarah Kehidupan Rasul Saw

Hadits palsu lainnya menyebutkan bahwa Nabi Saw menggendong Aisyah di atas pundak beliau untuk melihat permainan akrobatik orang-orang Sudan dan pipi beliau menempel dipipi Aisyah. Atau hadits palsu yang mengatakan bahwa Nabi Saw mencintai istri anak angkatnya setelah beliau merangsang melihatnyaiii. Astagfirullah, hanya demi kekuasaan duniawi semata, Bani Umayyah rela memutar-balikkan fakta! Pantaskah Nabi Saw yang dipuji oleh Allah Swt karena keluhuran akhlaknya melakukan perbuatan nista tersebut? Sekali lagi, tidak! Hanya Setan-lah yang merasuk ke tubuh Dinasti Umayyah yang berani mengatakan hal ini! Dengan adanya penyelewengan-penyelewengan di atas, membuat umat Islam yang telah kehilangan seorang Rasul terbaik semakin terperosok ke dalam jurang kebodohan dan kehancuran. Akibatnya muncullah ajaran-ajaran yang telah keluar dari ajaran Rasul Saw seperti berikut:

1. Al Jabr (Pemaksaan Atau Fatalisme)

Pandangan ini berpendapat bahwa segala perbuatan manusia adalah perbuatan Allah, manusia tak memiliki ikhtiar, sebut saja boneka yang dipermainkan sesuka hati oleh pemiliknya. Dalil mereka adalah al Qur’an Surah al Iinsan ayat 30 dan al-An’am ayat 125 dan sebagainya. Pelopor pemikiran ini adalah para penguasa Bani Umayyah. Dengan penyimpangan ini, masyarakat akan yakin bahwa yang dilakukan Bani Umayyah adalah kehendak Allah. Sehingga masyarakat tidak berhak menentang merekaiv. Akhirnya masyarakat hanya bisa menerima segala perbuatan jahat Bani Umayyah yang mengatasnamakan ‘kehendak Tuhan’. Betapa licik dinasti Umayyah, menggunakan agama untuk menetapkan kedzaliman. Dan politik ini berjalan lancar, sehingga banyak umat Islam yang menganut ajaran ini pada masa Imam Ja’far Shadiq as.

2. Zandaqah (Ateis)

Pemikiran ini muncul pada masa Imam Ja’far Shadiq as akibat dari adanya pandapat Al Jabr (fatalisme) yang telah disebutkan itu, maka muncullah ajaran Zindiq (anti Tuhan) sebagai penolakan pandangan Jabr yang mengatasnamakan ‘kehendak Tuhan’. Ajaran ini muncul juga dikarenakan oleh kezaliman dan kebiadaban Bani Umayyah dalam segala lini kehidupan. Dan tentu saja hal ini sangat berperan dalam memisahkan masyarakat dari Ahlulbait Muhammad Almustafa yang merupakan pusaka suci Nabi Saw. Tersebutlah Ja’d bin Dirham, seorang ekstrim kufur, pembuat bid’ah yang mendedikasikan hidupnya dalam zandaqah (gerakan atheisme) serta memdengungkan ajaran dan doktrin ateis radikal (tidak meyakini adanya Tuhan)v. Dia menunjukkan kedangkalan akalnya secara demonstratif, seperti memasukkan tanah dan air dalam sebuah botol, kemudian beberapa saat terdapat cacing dalam botol yang semula diisi dengan tanah dan air tersebut. Kemudian dia berkata kepada para sahabatnya “Aku telah menciptakannya, karena aku adalah sebab keberadaannya”. Imam Ja’far as Shadiq ketika mendengar berita ini dan membantahnya dengan bukti rasional, beliau berkata “Jika dia (Ja’d) yang menciptakannya maka tanyakan kepadanya berapa jumlahnya? Berapa yang jantan dan yang betina? Berapa beratnya masing-masing? Mintalah kepadanya untuk mengubahnya menjadi bentuk yang lain!vi Jika melihat uraian di atas, maka dengan sangat jelas kita dapat melihat betapa melencengnya umat Islam dari ajaran Allah yang sebenarnya. Maka, nanti kita akan melihat bagaimana Imam Ja’far as Shadiq as menyelamatkan umat kakeknya ini.
.
Kondisi Politik Pada Masa Imam Ja’far As Shadiq As

Imam Ja’far as Shadiq as memiliki dua fase dalam kepemimpinan beliau. Pertama, fase runtuhnya Dinasti Umayyah hingga kehancurannya (114-132 H). Kedua, fase kekuasaan Dinasti Abbasiyah sampai beliau wafat (132-148 H), dan kondisi politik pada masa Imam Ja’far as Shadiq as tidak terlalu berbeda dengan situasi pada masa ayah beliau, Imam Muhammad al Baqir. Hisyam bin Abdul Malik yang membunuh Imam Muhammad al Baqir as (ayah Imam Ja’far as Shadiq) masih tetap berkuasa dan penerapan politiknya pun masih sama dengan masa ayahnya. Sistem politik penguasa pada masa itu dibangun dengan dasar barbarisme dan despotisme, sehingga para pecinta Ahlulbait Muhammad Almustafa harus rela tertindas, dihina bahkan dibunuh secara tragis. Bahkan bukan hanya para pecinta keluarga Nabi Saw saja, para kaum fakir nan miskin yang tidak mengenal Ahlulbait pun juga disiksa dan dibunuh.

Hal itu dapat dilihat dalam diri Zaid bin Ali bin Husain ra. Zaid bin Ali ra menggambarkan betapa biadabnya para penguasa pada masa itu sehingga menciptakan tragedi dahsyat pada ummat. Jabir bin Yazid Ju’fi meriwayatkan ungkapan Zaid bin Ali ra saat dia bertemu “Wahai Jabir, aku tak bisa tinggal diam sementara kitabullah dilanggar dan perilaku mereka (penguasa) seperti Setan. Aku menyaksikan Hisyam dan seorang lelaki menghina Rasulullah Saw. Aku berkata kepada si penghina itu ‘celakalah kamu hai kafir! Seandainya aku bisa pasti kucabut nyawamu dan segera kuhempaskan ke neraka’, kemudian Hisyam berkata kepadaku, ‘santai saja, duduklah bersama kami hai Zaid’ ‘demi Allah, seandainya tidak ada orang lain selain aku dan Yahya putraku, niscaya sudah aku hajar dia hingga mati”vii  Lantas bagaimana akhir nasib Zaid Bin Ali ra ini? Beliau ditangkap dan dibunuh, kemudian jasadnya disalib didaerah Kisanah, Kufah pada tahun 121 H.viii

Dikarenakan mengadopsi gaya barbar dan despotik, rezim Umayyah akhirnya runtuh setelah sekian lama merongrong Islam dari dalam. Situasi politik pada masa itu sangat bergejolak setelah syahidnya Zaid bin Ali ra. Dan dikarenakan para penguasa lebih memfokuskan diri dalam menjaga kekuasaannya dari tangan para pemberontak, ini mengakibatkan melonggarnya tekanan terhadap Imam Ja’far as Shadiq as dan kesempatan berharga ini digunakan dengan sebaik-baiknya oleh Imam Ja’far as Shadiq as. Dengan melihat kondisi yang sedemikian rusak ini, tentu hal yang sangat sulit untuk menegakkan kembali kebenaran. Maka sekarang mari kita lihat sikap apa yang diambil sang mahaguru ini.

Sikap Bijak Sang Maha Guru Imam Ja’far As Shadiq As

Sekelumit gambaran tentang kondisi pemikiran maupun politik pada masa Imam Ja’far tersebut telah menceritakan kepada kita betapa rumit situasi pada masa itu dan risalah imamah yang dipegang imam tak henti-hentinya mengalami ancaman. Bani Umayyah telah sekian lama memisahkan umat Islam dari Islam. Budaya jahiliyah kembali menjamur di bumi Islam. Begitu juga pemikiran-pemikiran Barat (Hellenisme) mulai mengotori kesucian aqidah yang dibangun oleh Rasul Saw, keluarga serta sahabatnya yang setia. Tak hanya kerusakan akidah, kerusakan sosial pun tak bisa lagi dielakkan. Harta umat Islam dihambur-hamburkan oleh penguasa. Maka sudah barang tentu Imam Ja’far as tidak hanya berdiam diri menyaksikan keadaan itu. Imam menganggap perlu adanya pemahaman masyarakat terhadap Islam yang murni setelah Islam Muhammadi telah dipisah dari umat Muhammad oleh bani Umayyah.

Namun demikian, Imam tidak memilih ‘angkat senjata’ sebagai cara untuk melawan para diktator. Sikap yang efektif dan jenius ini menjadi cemerlang di tengah semaraknya gerakan-gerakan yang mengatasnamakan Islam dan pembaharuan. Imam menata kembali sendi-sendi Islam. Beliau mengemas dakwahnya tidak dengan perlawanan fisik, namun tetap seperti semula yang telah dibangun oleh ayahnya (Imam Muhammad al Baqir as) yaitu mencetak generasi tercerahkan di bawah risalah Ahlulbait Rasulullah. Sistem dakwah beliau ini sangat tepat karena jika imam tidak mencerahkan umat Islam dengan risalah Muhammad Saw, tentulah Islam yang dikenal adalah Islam Umawiyah yang menyimpang dan yang penuh dengan penindasan dan kebohongan, bukan Islam Muhammadi yang penuh dengan cinta dan kasih sayang. Jika diringkas, ada dua macam penyimpangan besar pada masa Imam Ja’far as Shadiq As.

Pertama, penyimpangan politik para aparatur pemerintah. Kedua, penyimpangan aqidah, pemikiran serta akhlak. Sedangkan prinsip yang dipegang oleh imam untuk melakukan reformasi universal ialah: Pertamabersikap terbuka kepada kelompok-kelompok ummat yang memiliki peranan politik secara pemikiran dan gerakan. Atau dengan kata lain semakin menyiarkan akademi Ahlulbait setelah sekian lama dikaburkan oleh penguasa pada masa itu. Ini adalah prinsip umum Imam Ja’far as Shadiq as. Keduamencetak generasi cerdas yang kelak menjadi ulama yang berpemikiran modern dan memiliki pemahaman utuh tentang Islam. Dan ini adalah prinsip khusus imam.

1. Imam Dalam Menentang Penyimpangan Politik Penguasa

Sikap Imam Terhadap Penguasa

Imam menjelaskan bahwa pemerintahan diktator adalah tidak sah. Beliau melarang ummat Islam berkonsultasi kepada para penguasa. Karena merekalah yang menciptakan sengketa yang berkepanjangan. Beliau berkata “Jangan pernah sebagian dari kalian dan yang lainnya mencari keadilan hukum dari orang zalim. Kembalilah kepada salah seorang dari kalian yang memahami masalah kita. Kemudian patuhilah dia. Sesungguhnya aku telah menjadikannya sebagai hakim (bagi masalah kalian) maka carilah penyelesaian pertikaian kalian kepadanyaix

Imam mengharamkan kerjasama dengan rezim biadab, para diktator. Beliau berkata “Sesungguhnya di hari kiamat para penolong kezaliman berada dalam gejolak api neraka sampai Allah menetapkan hukumNya diantara hamba-hambaNya”x Apabila telah bekerja sama dengan pemerintah maka hendaknya dia memutuskan hubungan itu. Ali bin Hamzah berkata “Aku mempunyai seorang teman, dia salah seorang juru tulis Bani Umayyah. Dia berkata kepadaku ‘izinkan aku bertemu Imam Ja’far as’, kemudian aku mengizinkannya. Dia pun masuk kemudian memberi salam dan duduk, setelah itu dia berkata kepada Imam, ‘Demi dirimu, sesungguhnya aku berada di istana orang-orang itu. Aku mendapatkan harta yang banyak dari dunia mereka dan memicingkan mata terhadap tuntutannya’ Imam berkata ‘Seandainya Bani Umayyah tidak menemukan orang yang menulis dan mengumpulkan pajak untuk mereka, berperang untuk mereka dan menyaksikan jama’ah mereka, maka mereka tidak akan merampas hak kami. Seandainya orang-orang meninggalkan mereka dan semua yang ada di tangan mereka, mereka tidak akan menemukan apapun kecuali yang berada di tangan mereka’. Dia berkata, ‘demi dirimu, apakah ada jalan keluar bagiku?’ Imam berkata, ‘jika aku memberitahumu apakah kamu akan melaksanakannya?’, dia berkata, ‘aku akan melaksanakannya’, beliau berkata keluarkanlah semua yang kamu dapatkan dalam istana-istana mereka. Siapa yang kamu kenal dari mereka, kamu kembalikan harta itu kepadanya dan siapa yang tidak kamu kenal, kamu sedekahkan harta itu’ xi” Jelaslah, Imam Ja’far as bersikap keras dalam menghadapi para penguasa. Unsur bara’ah sangat jelas dalam pernyataan-pernyataan beliau. Walaupun tidak mengangkat senjata, Imam tetap berbaroah dari musuh-musuhnya.
.
Sikap Imam Tentang Kepemimpinan (Imamah)

Imam memberikan pendidikan kepada umat Islam tentang risalah ilahiah (ketuhanan) yang kewenangannya telah dirampas dari pangkuan umat Islam. Imam memaparkan pesan-pesan al Qur’an secara luas dan mendalam untuk menjawab doktrin-doktrin pemikiran yang berusaha membekukan risalah ilahiah. Allah Swt berfirman “Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman “sesungguhnya aku akan menjadikanmu sebagai imam bagi seluruh manusia” Ibrahim berkata “juga dari keturunanku?” Allah berfirman “janjiku tidak meliputi orang-orang zalim (al Baqarah:124).

Tentang ayat ini, Imam menjelaskan bahwa Allah menjadikan Ibrahim sebagai hamba sebelum menjadikannya sebagai nabi. Allah menjadikannya sebagai nabi sebelum menjadikannya rasul. Allah menjadikannya rasul sebelum menjadikannya sebagai khalil (kekasih) dan Allah menjadikannya sebagai khalil sebelum mengangkatnya menjadi imam. Ketika Allah telah mengumpulkan semua kesempurnaan untuk Ibrahim, Dia berfirman “Sesungguhnya aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Kemudian Imam melanjutkan “karena keagungan imamah di mata Ibrahim as, dia berkata ‘juga dari keturunanku’ Allah berfirman ‘janjiku tidak meliputi orang-orang zalim’”xii Imam juga menjelaskan pribadi Amiril Mukminin Ali bin Abi Thalib as dengan Hadits Ghadir. Di mana gelar Amirul Mukminin ini diberikan oleh Nabi Muhammad Saw hanya untuk Imam Ali As.

Imam menjelaskan kepada ummat Islam tentang peristiwa yang menjadi tonggak peradaban Islam agar tidak dilupakan dan dihapus. Imam berkata tentang kakeknya Ali bin Abi Thalib as “(Ali bin Thalib as) adalah orang yang mendapat wilayah dan ditetapkan baginya imamah pada hari Ghadir Khum dengan sabda Rasul Saw dari Allah yang berbunyi ‘…Sesiapa yang menjadikan aku (Rasul Saw) sebagai pemimpinnya maka Ali adalah pemimpinnya. Ya Allah cintailah siapa saja yang menjadikannya pemimpin, musuhilah siapa saja yang memusuhinya, tolonglah siapa saja yang menolongnya, jauhilah siapa saja yang menjauhinya dan bantulah siapa saja yang membantunya’ ”xiii Dalam hal ini imam ingin menjelaskan betapa mulianya tingkat imamah dan imamah ini dipegang oleh Ali bin Abi Thalib as dan keturunannya yang suci. Maka, tentulah manusia (ummat Islam) harus menjadikan para Imam Ahlulbait sebagai rujukan mereka yang utama, bukan kepada para ulama-ulama bayaran Bani Umayyah.

Imam Dalam Menghadapi Gerakan Kebudayaan Dan Pemikiran

Imam Dalam Menghadapi Gerakan Ekstrimisme

Beliau bersikap tegas terhadap kelompok ekstrimis ini. Disebutkan bahwa imam berkata kepada Sudair “Wahai Sudair, pendengaranku, penglihatanku, rambutku, kulitku, dagingku dan darahku bebas dari mereka para ekstrimis. Allah dan rasul-Nya putus hubungan dengan mereka. Mereka tidak berada dalam agamaku dan agama ayahku dan Allah tidak akan mengumpulkanku dengan mereka satu hari pun kecuali Dia murka kepada mereka”xiv Isa bin Manshur meriwayatkan bahwa imam berdoa “Ya Allah, laknatlah Abul Khattab karena dia telah meresahkanku dalam keadaan berdiri dan duduk serta di atas tempat tidurku. Ya Allah, siksalah dia dengan panasnya besi”xv Abul Khattab adalah salah satu penyebar pemikiran ekstrim ini. Dia memilih Kufah sebagai objeknya karena dia tahu Kufah adalah basisnya para pecinta Ahlulbait.

Para ekstrimis itu meyakini bahwa sesuatu yang non-materi sangat mungkin tampak secara fisik. Seperti Jibril as yang pernah menampakkan diri sebagai seorang Baduy. Dan juga Setan berbentuk manusia yang melakukan berbagai kejahatan dan menampakkan jin ke dalam diri manusia sehingga berbicara dengan lisannya. Demikian juga mereka (kaum ekstrimis) meyakini bahwa Allah tampak dalam bentuk manusia. Pemahaman ini mendapat kecaman keras dari Imam Ja’far. Pada suatu hari Basyar Syairi (salah seorang ekstrimis) menemui imam. Saat itu pula imam mengusirnya “Pergi dariku! Allah akan melaknatmu. Allah tidak akan menaungiku dalam satu atap bersamamu selamanya!”xvi

Imam Dalam Mengajarkan Syariat

Imam Ja’far as Shadiq membuka ruang belajar secara luas untuk mengajarkan metode-metode pemahaman syariat yang benar. Disamping menghadang paham ekstrimisme dan yang sejenisnya, imam juga menghadapi gerekan-gerakan fiqih yang bertentangan dengan esensi syariat Islam. Atas dasar inilah, beliau melarang sahabatnya untuk beramal dengan cara yang non-Islami. Seperti pesan imam kepada Abban “Wahai Abban, sesungguhnya jika sunnah dikiaskan agama akan hancur”xvii Abu Hanifah mengadopsi mazhab kias ini untuk mengamalkannya sebagai salah satu sumber hukum. Namun dengan tegas imam menolak pemahaman ini. Dan berikut adalah sepenggal dialog antara Abu Hanifah dengan imam Ja’far as:

Syubrunah dan Abu Hanifah menjumpai Imam Ja’far as as Shadiq. Beliau bertanya kepada Syubrumah“Siapakah yang bersamamu ini? Dia menjawab “seseorang yang mempunyai visi dan memberikan pengaruh dalam masalah agama”. Imam Ja’far berkata: “diakah yang telah mengiaskan masalah agama berdasarkan pendapat sendiri itu?”. Dia menjawab, ”Ya”. Imam menoleh ke arah Abu Hanifah dan kemudian bertanya, “siapa namamu?” Dia menjawab “Nu’man”. Imam bertanya, “wahai Nu’man, apakah kamu mengiaskan kepalamu?” Dia menjawab, “bagaimana aku mengiaskan kepalaku?” Imam berkata, “aku tidak melihatmu melakukan sesuatu yang baik. Apakah kamu mengetahui kadar garam yang terkandung di kedua mata, kadar pahit yang ada dalam kedua telinga, kadar dingin dalam lubang hidung dan kadar manis diantara dua bibir?”

Saat itu Abu Hanifah menyatakan kekagumannya dan ketidaktahuannya. Imam bertanya lagi,“apakah kamu tahu kalimat yang awalnya adalah kufur dan akhirnya adalah iman?”Abu Hanifah menjawab, “tidak”. Kemudian Abu Hanifah memohon kepada Imam Ja’far agar menjelaskan kepadanya makna ungkapan beliau. Imam berkata, “ayahku memberitahuku dari kakekku Rasul saww, beliau bersabda, ‘sesungguhnya Allah dengan keutamaan dan kebaikannya telah menciptakan kadar garam dalam kedua mata anak-anak adam untuk membersihkan kotoran-kotoran yang terdapat di dalamnya. Menciptakannya kadar pahit pada kedua telinga sebagai tameng dari binatang. Jika binatang masuk ke dalam kepala melalui telinga dan mengarah ke otak, maka karena rasa pahit itu dia akan keluar. Allah menciptakan kadar dingin dalam kedua lubang hidung agar udara dapat dihirup oleh keduanya. Seandainya tidak demikian otak akan membusuk. Allah menciptakan kadar manis di antara dua bibir agar dapat merasakan lezatnya makanan”. Abu Hanifah memandang Imam Ja’far sambil bertanya, “beritahu aku tentang kalimat yang awalnya adalah kufur dan akhirnya iman”. Imam Ja’far menjelaskan, “sesungguhnya seorang hamba jika mengatakan ‘tidak ada Tuhan’ maka dia kafir. Jika dia melanjutkan dengan kalimat ‘selain Allah’ maka itu adalah iman”.

Imam kemudian mendekati Abu Hanifah dan berkata “wahai Nu’man, ayahku memberitahuku dari kakekku Rasul Saww bersabda ‘pertama kali yang melakukan kias dalam masalah agama dengan pendapatnya sendiri adalah Iblis. Allah berfirman kepadanya sujudlah kamu kepada Adam lalu dia berkata ‘aku lebih baik darinya, engkau ciptakan aku dari api dan engkau menciptakannya dari tanah’ ”xviii

Dengan demikian kita harus berterima kasih kepada Imam Ja’far as Shadiq as karena: Imam telah membendung gerakan Zandaqah (ateis) dari pemikiran pengikutnya. Imam telah membendung gerakan Al Jabr (pemaksaan alias doktrin fatalisme) dari pemikiran pengikutnya. Imam telah melawan Penyelewengan terhadap sejarah kehidupan rasul saww. Imam telah melawan Penyelewengan terhadap hadits nabi saww. Imam telah melawan penyelewengan terhadap tafsir Al Qur’an. Imam telah menjelaskan bahwa pemerintahan diktator adalah tidak sah. Beliau melarang umat islam berkonsultasi kepada para penguasa. Imam mengharamkan kerjasama dengan rezim biadab, para diktator. Apabila telah bekerja sama dengan pemerintah maka hendaknya dia memutuskan hubungan itu. Imam memberikan pendidikan kepada umat islam tentang risalah ilahiah (ketuhanan) yang kewenangannya telah dirampas dari pangkuan umat Islam. Imam juga menjelaskan pribadi amiril mukminin Ali bin abi thalib as dengan hadits Ghadir. Imam telah membuka ruang belajar secara luas untuk mengajarkan metode-metode pemahaman syariat yang benar.

Dan jika dilihat poin-poin diatas masih ada sampai sekarang, kita bisa melihat para pecinta Ahlulbait tidak pernah mempercayai pemikiran al Jabr (pemaksaan atau fatalisme) karena Imam Ja’far as Shadiq as dan juga ayah-ayah imam serta anak-cucunya yang suci nan mulia. Maka, apa jadinya kita kalau tidak ada sang mahaguru Imam Ja’far as Shadiq bin Muhammad al Baqir ini? Jadi, berterimakasihlah kepada Imam yang telah menjaga kemurnian risalah kakeknya Muhammad Rasulullah Saw. Bagaimana cara berterimakasih? Ada banyak cara untuk berterima kasih, salah satunya ialah Imam Ja’far Shadiq as berkata: “Wahai sekalian Syi’ah, jadilah kalian penghias bagi kami dan jangan jadi pencoreng kami. Katakan yang baik-baik kepada manusia, jagalah lisan-lisan kalian, tahanlah dari kelebihan berbicara dan omongan yang buruk”xix Dalam kesempatan lain Imam juga bersabda: ”Hai sekalian Syiah, sesungguhnya kalian telah dinisbahkan kepada kami, maka jadilah penghias bagi kami dan jangan jadi pencoreng!”xx

Pustaka

i Ja’far Shadiq Sang Mahaguru, Al Huda 2008
ii Shahih Tirmidzi, jilid 5, hal 687, bab manaqib Muawiyah)
iii Shahih Bukhari, jilid 1, hal 169; Shahih Muslim, bab Shalat al-‘idain, jilid 2, hal 607; Musnad Ahmad bin Hanbal, jilid 6, hal 38
iv Al-imam As-Shodiq wa al-mazahib al-arba’ah, jilid 2, hal 122
Lisan al-mizan, jilid 2, hal 105
vi Amali al-murtadha, jilid 1, hal 284
vii Hayat al-imam al-Baqir; Dirasat wa tahlil, jilid 1, hal 72
viii Ansab al-asyraf, jilid 3, hal 439,446
ix Wasa’il as-Syi'ah, jilid 27, hal 13, dari Al-kafi , al-faqih dan at-tahdzib
Ibid, jilid 17, hal 179, dari At-tahdzib
xi Al-Kafi, jilid 5, hal 106; Biharul anwar, jilid 47, hal 138
xii Al-Mizan, jilid 2, hal 267
xiii Ad-Durr al-Mantsur, jilid 2, hal 298; Syawahid at-tanzil, jilid 1, hal 187 dll
xiv Ushul al-Kafi, jilid 1, hal 629
xv Awalim al-Ulum wa al-Ma’arif, jilid 20, hal 2
xvi Ibid, hal 400
xvii Biharul Anwar, hal 104-105
xviii Ushul al-Kafi, jilid 1, hal 58; Biharul anwar, jilid 47, hal 226
xix Biharul Anwar, jilid 68, hal 151
xx Misykat al-Anwar, hal 67 

Tidak ada komentar: