KTT Bumi dan Lingkungan dari Masa ke Masa


Jargon “Think Globally, Act Locally”, yang menjadi tema KTT Bumi di Rio de Janeiro pada bulan Juni 1992 silam, segera menjadi jargon populer untuk mengekspresikan kehendak berlaku ramah terhadap lingkungan. Topik yang diangkat dalam konferensi ini adalah permasalahan polusi, perubahan iklim, penipisan ozon, penggunaan dan pengelolaan sumber daya laut dan air, meluasnya penggundulan hutan, penggurunan dan degradasi tanah, limbah-limbah berbahaya serta penipisan keanekaragaman hayati.

Kita tahu bersama, isu lingkungan hidup semakin hari semakin menjadi isu yang sangat penting untuk ditangani bersama, baik oleh Negara-negara maju maupun Negara-negara berkembang atau Negara-negara Dunia Ketiga. Singkatnya merupakan keniscayaan bagi Utara dan Selatan. Kita tahu juga, persoalan lingkungan, meski telah ditempuh beragam upaya perawatan dan pencegahan dari kerusakan dan pencemaran, tidak semakin membaik. Penanganan dan perbaikan pun belum sebanding dengan peningkatan persoalan lingkungan itu sendiri. Kondisi lingkungan dan bumi, sebagaimana sama-sama kita tahu dan kita rasakan, diperparah dengan terjadinya fenomena perubahan iklim (climate change).

Kondisi persoalan lingkungan yang tidak semakin membaik itulah, sebagai contohnya, yang juga mendasari diselenggarakannya Konferensi Tingkat Tinggi tentang Pembangunan Berkelanjutan, yang telah berlangsung pada tanggal 13-22 Juni 2012 di Rio de Janeiro, Brasil yang lebih dikenal dengan KTT Rio+20. Bagi Indonesia, menyepakati dokumen The Future We Want, sebagaimana tercermin dalam KTT Bumi tersebut, menjadi arahan bagi pelaksanaan pembangunan berkelanjutan di tingkat global, regional, dan nasional. Dokumen itu memuat kesepahaman pandangan terhadap masa depan yang diharapkan oleh dunia.

Isi Dokumen yang disepakati itu mengenalkan konsep Sustainable Development Goals atau tujuan-tujuan pembangunan berkelanjutan yang harus dipenuhi, baik oleh negara maju maupun negara berkembang, untuk tetap menjaga prinsip-prinsip perlindungan lingkungan saat meraih kesejahteraan ekonomi atau ‘ekonomi hijau’ (green economy). KTT Bumi ini, yang juga disebut Rio+20, tersebut menjadi kelanjutan dari KTT Bumi yang dilakukan di Rio de Janeiro pada 1992 silam. Pada saat itu, negara-negara yang hadir juga mengeluarkan komitmen perlindungan lingkungan. Namun, yang disayangkan dari Rio+20 adalah tidak adanya mekanisme evaluasi akan apa saja hal-hal yang sudah dicapai negara maju dalam pemenuhan janji-janji tersebut dari 1992 sampai sekarang.

Berikut KTT Bumi dan Lingkungan yang Pernah Diselenggarakan:

Stockholm, Swedia (Juni 1972)

Konferensi internasional lingkungan hidup atau United Nations Conference on Human Environment (UNCHE), di Stockholm, Swedia adalah konferensi yang sangat bersejarah, karena merupakan konferensi pertama tentang lingkungan hidup yang diprakarsai oleh PBB yang diikuti oleh wakil dari 114 negara. Konferensi ini juga merupakan penentu langkah awal upaya penyelamatan lingkungan hidup secara global.

Dalam konferensi Stockholm inilah untuk pertama kalinya motto: “Hanya Ada Satu Bumi“ (Only One Earth) untuk semua manusia, diperkenalkan. Motto itu sekaligus menjadi motto konferensi. Selain itu, konferensi Stockholm menetapkan tanggal 5 Juni yang juga hari pembukaan konferensi tersebut sebagai hari lingkungan hidup se-dunia (World Environment Day).

Salah-satu hasil dari KTT tersebut adalah kesepakatan mengenai keterkaitan antara konsep pembangunan dan pengelolaan lingkungan hidup. Persoalan lingkungan hidup diidentikkan dengan kemiskinan, keterbelakangan, tingkat pembangunan yang masih rendah dan pendidikan rendah, intinya faktor kemiskinan yang menjadi penyebab utama kerusakan lingkungan hidup di dunia. Sehingga dalam forum tersebut disepakati suatu persepsi bahwa kebijakan lingkungan hidup harus terkait dengan kebijakan pembangunan nasional.

KTT itu menghasilkan resolusi monumental, yaitu pembentukan badan khusus PBB untuk masalah lingkungan United Nations Environmental Programme (UNEP), yang markas besarnya ditetapkan di Nairobi, Kenya. UNEP merupakan motor pelaksana komitmen mengenai lingkungan hidup dan telah melahirkan gagasan besar pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development). Gagasan pembangunan berkelanjutan diawali dengan terbitnya Laporan Brundtland (1987), “Our Common Future”, yang memformulasikan prinsip dasar pembangunan berkelanjutan.

Rekomendasi Konferensi Stockholm Nomor 99.3. ditindaklanjuti dengan melaksanakan Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) atau Konvensi PBB mengenai Perdagangan Internasional Jenis-Jenis Flora dan Fauna Terancam Punah. Misi dan tujuan CITES adalah untuk menghindarkan jenis-jenis tumbuhan dan satwa dari kepunahan di alam melalui sistem pengendalian jenis-jenis tumbuhan dan satwa, serta produk-produknya secara internasional.

Dalam dokumen Konfrensi Stockholm “The Control of Industrial Pollution and International Trade” secara langsung mendorong GATT untuk meninjau kembali kebijakannya agar tidak menimbulkan diskriminasi terhadap Negara berkembang.

Rio de Janeiro, Brazil ( Juni 1992)

Sejak Konferensi Stockholm, polarisasi di antara kaum developmentalist dan environmentalist semakin menajam. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro, Brazil, pada 1992, merupakan upaya global untuk mengkompromikan kepentingan pembangunan dan lingkungan. Jargon “Think globally, act locally”, yang menjadi tema KTT Bumi menjadi populer untuk mengekspresikan kehendak berlaku ramah terhadap lingkungan.

Topik yang diangkat dalam konferensi ini adalah permasalahan polusi, perubahan iklim, penipisan ozon, penggunaan dan pengelolaan sumber daya laut dan air, meluasnya penggundulan hutan, penggurunan dan degradasi tanah, limbah-limbah berbahaya serta penipisan keanekaragaman hayati.

Berikut sejumlah hasil dan rekomendasi dalam KTT tersebut:

Deklarasi Rio: Satu rangkaian dari 27 prinsip universal yang bisa membantu mengarahkan tanggung jawab dasar gerakan internasional terhadap lingkungan dan ekonomi.

Konvensi Perubahan Iklim (FCCC): Kesepakatan Hukum yang telah mengikat telah ditandatangani oleh 152 pemerintah pada saat komperensi berlangsung. Tujuan pokok Konvensi ini adalah “Stabilisasi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfir pada tingkat yang telah mencegah terjadinya intervensi yang membahayakan oleh manusia terhadap sistem Iklim”.

Konvensi Keanekaragaman Hayati: Kesepakatan hukum yang mengikat telah ditandatangani sejauh ini oleh 168 negara. Menguraikan langkah – langkah ke depan dalam pelestarian keragaman hayati dan pemanfaatan berkelanjutan komponen – komponennya, serta pembagian keuntungan yang adil dan pantas dari penggunaan sumber daya genetik.

Pernyataan Prinsip – Prinsip Kehutanan: Prinsip – prinsip yang telah mengatur kebijakan nasional dan internasional dalam bidang kehutanan. Dirancang untuk menjaga dan melakukan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya hutan global secara berkelanjutan. Prinsip – prinsip ini seharusnya mewakili konsesi pertama secara internasional mengenai pemanfaatan secara lestari berbagai jenis hutan.

Komisi Pembangunan Berkelanjutan Commission on Sustainable Development (CSD): Komisi ini di bentuk pada bulan desember 1992. Tujuan CSD adalah untuk memastikan keefektifan tindak-lanjut KTT bumi. Mengawasi serta melaporkan pelaksanaan kesepakatan Konferensi Bumi baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional. CSD adalah komisi Fungsional Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (ECOSOC) yang beranggotakan 53 negara.

Agenda 21: Merupakan sebuah program luas mengenai gerakan yang mengupayakan cara – cara baru dalam berinvestasi di masa depan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan Global di abad 21. Rekomendasi – rekomendasi Agenda 21 ini meliputi cara – cara baru dalam mendidik, memelihara sumber daya alam, dan berpartisipasi untuk merancang sebuah ekonomi yangberkelanjutan. Tujuan keseluruhan Agenda 21 ini adalah untuk menciptakan keselamatan, keamanan, dan hidup yang bermartabat.

Genewa, Swiss (Juli 1996)

Amerika menerima temuan-temuan ilmiah mengenai perubahan iklim dari IPCC dalam penilaian kedua dan menolak penyeragaman penyelarasan kebijakan dan menyerukan pengikatan secara hukum target jangka menengah. Menghasilkan Deklarasi Genewa. Berisi 10 butir deklarasi antara lain berisi ajakan kepada semua pihak untuk mendukung pengembangan protokol dan instrumen legal lainnya yang didasarkan atas temuan ilmiah. Deklarasi ini juga menginstruksikan kepada semua perwakilan para pihak untuk mempercepat negosiasi terhadap teks protokol.

Johannesburg, Afrika Selatan (2002)

Penyelenggaraan KTT Pembangunan Berkelanjutan (World Summit on Sustainable Development) pada 2002 di Johannesburg, Afrika Selatan, ditekankan pada plan of implementation yang mengintegrasikan elemen ekonomi, ekologi, dan sosial yang didasarkan pada tata penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance).

KTT tersebut telah milahirkan kesepakatan komprehensif bidang kehutanan, yaitu dokumen Forest Principles (Non-Legally Binding Authoritative Statement of Principles for a Global Consensus on Management, Conservation and Sustainable Development of all Types of Forests). Kendatipun bukan merupakan komitmen yang mengikat, dalam proses-proses internasional bidang kehutanan, dokumen Forest Principles merupakan referensi utama serta jiwa bagi kerjasama antar bangsa.

Isu sentral yang dibahas adalah antara lain: menghidupkan kembali komitmen politik pada tingkat paling tinggi mengenai pengelolaan hutan berkelanjutan, peningkatan kontribusi sektor kehutanan dalam upaya pengentasan kemiskinan, peningkatan pertumbuhan ekonomi, peningkatan lapangan kerja, pembangunan pedesaan serta peningkatan kesejahteraan umat manusia.

Pada akhirnya KTT Pembangunan berkelanjutan mengadopsi tiga dokumen utama, yaitu:

[1] Deklarasi Johannesburg yang menyatakan bahwa setiap negara memikul tanggung jawab dalam pembangunan berkelanjutan dan kemiskinan.

[2] Rencana Aksi Johannesburg mengenai pembangunan berkelanjutan (Johannesburg Plan of Implementation/JPOI).

[3] Program kemitraan (partnership) antar pemangku kepentingan dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan.

Bali, Indonesia (Desember 2007)

Penyelenggaraan KTT Pemanasan Global di Nusa Dua, Bali pada tanggal 13 – 15 Desember 2007 merupakan momentum dalam upaya untuk membangun kesadaran semua warga bumi untuk berbuat sekecil apapun demi menyelamatkan bumi, tempat yang menjadi sumber hidup dan hidup kita bersama. Dalam konferensi tentang lingkungan hidup ini semua negara ambil bagian dalam menentukan nasib bumi kita di waktu mendatang.


Dalam pertemuan ini disepakati Bali Road Map, sebuah peta yang akan menjadi jalan untuk mencapai consensus baru pada 2009 sebagai pengganti Protokol Kyoto fase pertama yang akan berakhir pada tahun 2012. Inti dari Bali Road Map adalah:

[1] Respons atas temuan keempat Panel Antar Pemerintah (IPCC) bahwa keterlambatan pengurangan emisi akan menghambat peluang mencapai tingkat stabilitas emisi yang rendah, serta meningkatkan risiko lebih sering terjadinya dampak buruk perubahan iklim.

[2] Pengakuan bahwa pengurangan emisi yang lebih besar secara global diharuskan untuk mencapai tujuan utama.

[3] Keputusan untuk meluncurkan proses yang menyeluruh, yang memungkinkan dilaksanakannya keputusan UNFCCC secara efektif dan berkelanjutan.

[4] Penegasan kewajiban Negara-negara maju melaksanakan komitmen dalam hal mitigasi secara terukur, dilaporkan dan dapat diverifikasi, termasuk pengurangan emisi yang terkuantifikasi.

[5] Penegasan kesediaan sukarela Negara berkembang mengurangi emisi secara terukur, dilaporkan dan dapat diverifikasi, dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan, didukung teknologi, dana, dan peningkatan kapasitas.

[6] Penguatan kerjasama di bidang adaptasi atas perubahan iklim, pengembangan dan alih-teknologi untuk mendukung mitigasi dan adaptasi.

[7] Memperkuat sumber-sumber dana dan investasi untuk mendukung tindakan mitigasi, adaptasi dan alih teknologi terkait perubahan iklim.

Salam,
Sulaiman Djaya 


Tidak ada komentar: