Konferensi Asia-Afrika 1955, Sumbangan Indonesia Bagi Dunia


Berakhirnya Perang Dunia II pada Agustus 1945, tidak berarti berakhir pula situasi permusuhan di antara bangsa-bangsa di dunia. Di beberapa belahan dunia masih ada masalah dan muncul masalah baru. Penjajahan yang dialami oleh negara-negara di kawasan Asia dan Afrika merupakan masalah krusial sejak abad ke-15. Walaupun sejak tahun 1945 banyak negara, terutama di Asia, kemudian memperoleh kemerdekaannya, seperti: Indonesia (17 Agustus 1945), Republik Demokrasi Vietnam (2 September 1945), Filipina (4 Juli 1946), Pakistan (14 Agustus 1947), India (15 Agustus 1947), Birma (4 Januari 1948), Ceylon (4 Februari 1948), dan Republik Rakyat Tiongkok (1 Oktober 1949).

Namun masih banyak negara lainnya yang berjuang bagi kemerdekaannya seperti Aljazair, Tunisia, Maroko, Kongo, dan di wilayah Afrika lainnya. Beberapa Negara Asia Afrika yang telah merdeka pun masih banyak yang menghadapi masalah sisa penjajahan seperti daerah Irian Barat, Kashmir, Aden, dan Palestina. Selain itu konflik antar-kelompok masyarakat di dalam negeri pun masih berkecamuk akibat politik devide et impera.

Lahirnya dua blok kekuatan yang bertentangan secara ideologi, yaitu Blok Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat (kapitalis) dan Blok Timur yang dipimpin oleh Uni Sovyet (komunis/sosialis), semakin memanaskan situasi dunia. Perang Dingin berkembang menjadi konflik perang terbuka, seperti di Jazirah Korea dan Indo-Cina. Perlombaan pengembangan senjata nuklir meningkat. Hal tersebut menumbuhkan ketakutan dunia akan kembali dimulainya Perang Dunia.

Walaupun pada masa itu telah ada badan internasional yaitu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berfungsi menangani masalah dunia, namun pada kenyataannya badan ini belum berhasil menyelesaikan persoalan tersebut, sementara akibat yang ditimbulkan oleh masalah-masalah ini sebagian besar diderita oleh bangsa-bangsa di Asia dan Afrika.

Lahirnya Ide Pelaksanaan Konferensi Asia Afrika

Pada awal tahun 1954, Perdana Menteri Ceylon, Sir John Kotelawala, mengundang para perdana menteri dari Burma (U Nu), India (Jawaharlal Nehru), Indonesia (Ali Sastroamidjojo), dan Pakistan (Mohammed Ali) dengan maksud mengadakan suatu pertemuan informal di negaranya. Undangan tersebut diterima baik oleh semua pimpinan pemerintah negara tersebut. Pada kesempatan itu, Presiden Indonesia, Soekarno, menekankan kepada Perdana Menteri Indonesia, Ali Sastroamidjojo, untuk menyampaikan ide diadakannya Konferensi Asia Afrika pada pertemuan Konferensi Kolombo tersebut. Beliau menyatakan bahwa hal ini merupakan cita-cita bersama selama hampir 30 tahun telah didengungkan untuk membangun solidaritas Asia Afrika dan telah dilakukan melalui pergerakan nasional melawan penjajahan.

Sebagai persiapan, maka Pemerintah Indonesia mengadakan pertemuan yang dihadiri oleh para Kepala Perwakilan Indonesia di Asia, Afrika, dan Pasifik, bertempat di Wisma Tugu, Puncak, Jawa Barat pada 9 – 22 Maret 1954, untuk membahas rumusan yang akan dibawa oleh Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo pada Konferensi Kolombo, sebagai dasar usulan Indonesia untuk meluaskan gagasan kerja sama regional di tingkat Asia Afrika.

Pada 28 April – 2 Mei 1954, Konferensi Kolombo berlangsung untuk membicarakan masalah-masalah yang menjadi kepentingan bersama.

Dalam konferensi tersebut, Perdana Menteri Indonesia, Ali Sastroamidjojo, mengusulkan perlunya diadakan pertemuan lain yang lebih luas antara Negara-negara Afrika dan Asia karena masalah-masalah krusial yang dibicarakan itu tidak hanya terjadi di Negara-negara Asia yang terwakili dalam konferensi tersebut tetapi juga dialami oleh negara-negara di Afrika dan Asia lainnya.

Usul ini diterima oleh semua peserta konferensi walaupun masih dalam suasana skeptis. Konferensi memberikan kesempatan kepada Indonesia untuk menjajaki kemungkinannya dan keputusan ini dimuat di bagian akhir Komunike Konferensi Kolombo.


Usaha-Usaha Persiapan Konferensi 

Pemerintah Indonesia, melalui saluran diplomatik, melakukan pendekatan kepada 18 Negara Asia Afrika, untuk mengetahui sejauh mana pendapat negara-negara tersebut terhadap ide pelaksanaan Konferensi Asia Afrika. Ternyata pada umumnya mereka  menyambut baik ide ini dan menyetujui Indonesia sebagai tuan rumah konferensi tersebut, walaupun mengenai waktu penyelenggaraan dan peserta konferensi terdapat berbagai pendapat yang berbeda.

Pada 18 Agustus 1954, melalui suratnya, Perdana Menteri Jawaharlal Nehru dari India mengingatkan Perdana Menteri Indonesia tentang perkembangan situasi dunia dewasa itu yang semakin gawat, sehubungan dengan adanya usul untuk mengadakan Konferensi Asia Afrika. Memang Perdana Menteri India dalam menerima usul itu masih disertai keraguan akan berhasil-tidaknya usul tersebut dilaksanakan. Barulah setelah kunjungan Perdana Menteri Indonesia pada 25 September 1954, beliau yakin benar akan pentingnya diadakan konferensi tersebut, seperti tercermin dalam pernyataan bersama pada akhir kunjungan Perdana Menteri Indonesia:

Para perdana menteri telah membicarakan usulan untuk mengadakan sebuah konferensi yang mewakili Negara-negara Asia dan Afrika serta menyetujui konferensi seperti ini sangat diperlukan dan akan membantu terciptanya perdamaian sekaligus pendekatan bersama ke arah masalah (yang dihadapi). Hendaknya konferensi ini diadakan selekas mungkin“.

Keyakinan serupa dinyatakan pula oleh Perdana Menteri Birma, U Nu, pada 28 September 1954.

Pada 28 – 29 Desember 1954, atas undangan Perdana Menteri Indonesia, para perdana menteri peserta Konferensi Kolombo (Birma, Ceylon, India, Indonesia, dan Pakistan) mengadakan pertemuan di Bogor, untuk membicarakan persiapan Konferensi Asia Afrika.
Konferensi tersebut berhasil merumuskan kesepakatan tentang  agenda, tujuan, dan negara-negara yang diundang pada Konferensi Asia  Afrika.

Kelima negara peserta Konferensi Bogor menjadi sponsor Konferensi Asia Afrika dan Indonesia dipilih menjadi tuan rumah pada konferensi tersebut, yang ditetapkan akan berlangsung pada akhir minggu April tahun 1955. Presiden Indonesia, Soekarno, menunjuk Kota Bandung sebagai tempat berlangsungnya konferensi.


Menjelang Konferensi Asia Afrika 

Dalam persiapan pelaksanaan Konferensi Asia Afrika, dibentuk Sekretariat Bersama yang diwakili oleh lima negara penyelenggara. Indonesia diwakili oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Luar Negeri, Roeslan Abdulgani, yang juga menjadi ketua badan itu, dan 4 negara lainnya diwakili oleh kepala-kepala perwakilan mereka masing-masing di Jakarta, yaitu Kuasa Usaha U Mya Sein (Birma), Duta Besar M. Saravanamuttu (Ceylon), Duta Besar B.F.H.B. Tyabji (India), dan Duta Besar Choudhri Khaliquzzaman (Pakistan).

Pemerintah Indonesia sendiri membentuk Panitia Interdepartemental pada 11 Januari 1955 yang diketuai oleh Sekretaris Jenderal Sekretariat Bersama dengan anggota-anggota dan penasehatnya berasal dari berbagai departemen guna membantu persiapan-persiapan konferensi tersebut.

Di Bandung, tempat diadakannya konferensi, dibentuklah Panitia Setempat pada 3 Januari 1955, dengan ketuanya Sanusi Hardjadinata, Gubernur Jawa Barat. Panitia Setempat bertugas mempersiapkan dan melayani hal-hal yang bertalian dengan akomodasi, logistik, transportasi, kesehatan, komunikasi, keamanan, hiburan, protokol, penerangan, dan lain-lain.

Gedung Concordia dan Gedung Dana Pensiun dipersiapkan sebagai tempat sidang-sidang konferensi. Hotel Homann, Hotel Preanger, dan 12 hotel lainnya serta 31 bungalow di sepanjang Jalan Cipaganti, Lembang, dan Ciumbuleuit dipersiapkan sebagai tempat menginap para peserta yang berjumlah lebih kurang 1.500 orang. Selain itu, disediakan juga fasilitas akomodasi untuk lebih kurang 500 wartawan dalam dan luar negeri.

Keperluan transportasi dilayani oleh 143 mobil, 30 taksi, 20 bus, dengan jumlah 230 orang sopir dan 350 ton bensin tiap hari serta cadangan 175 ton bensin.

Dalam kesempatan memeriksa persiapan-persiapan  terakhir di Bandung pada 7 April 1955, Presiden Indonesia Soekarno meresmikan penggantian nama Gedung Concordia menjadi Gedung Merdeka, Gedung Dana Pensiun menjadi Gedung Dwiwarna, dan sebagian Jalan Raya Timur menjadi Jalan Asia Afrika. Penggantian nama tersebut dimaksudkan untuk lebih menyemarakkan konferensi dan menciptakan suasana konferensi yang sesuai dengan tujuannya.

Pada 15 Januari 1955, surat undangan Konferensi Asia Afrika dikirimkan kepada kepala pemerintah dari 25 Negara Asia dan Afrika. Dari seluruh negara yang diundang hanya satu negara yang menolak undangan itu, yaitu Federasi Afrika Tengah, karena memang negara itu masih dikuasai oleh orang-orang bekas penjajahnya, sedangkan 24 negara lainnya menerima baik undangan itu, meskipun pada mulanya ada negara yang masih ragu-ragu.

Negara-negara Peserta Konferensi Asia-Afrika: [1] Afghanistan [2] Indonesia [3] Pakistan [4] Birma [5] Filipina [6] Kamboja [7] Irak [8] Iran [9] Arab Saudi [10] Ceylon [11] Jepang [12] Sudan [13] Republik Rakyat Tiongkok [14] Yordania [15] Suriah [16] Laos [17] Thailand [18] Mesir [19] Libanon [20] Turki [21] Ethiopia [22] Liberia [23] Vietnam (Utara) [24] Vietnam (Selatan) [25] Pantai Emas [26] Libya [27] India [28] Nepal [29] Yaman


Asia Afrika Bergema dari Bandung

Pada Senin, 18 April 1955, sejak fajar menyingsing telah tampak kesibukan di Kota Bandung untuk menyambut pembukaan Konferensi Asia Afrika. Sejak pukul 07.00 WIB kedua tepi sepanjang Jalan Asia Afrika dari mulai depan Hotel Preanger sampai dengan kantor pos penuh sesak oleh rakyat yang ingin menyambut dan menyaksikan para tamu dari berbagai negara. Sementara itu, para petugas keamanan yang terdiri dari tentara dan polisi telah siap di tempat tugas mereka untuk menjaga keamanan dan ketertiban.

Sekitar pukul 08.30 WIB, para delegasi dari berbagai negara berjalan meninggalkan Hotel Homann dan Hotel Preanger menuju Gedung Merdeka secara berkelompok untuk menghadiri pembukaan Konferensi Asia Afrika. Banyak di antara mereka memakai pakaian nasional masing-masing yang beraneka corak dan warna. Mereka disambut hangat oleh rakyat yang berderet di sepanjang Jalan Asia Afrika dengan tepuk tangan dan sorak sorai riang gembira. Perjalanan para delegasi dari Hotel Homann dan Hotel Preanger ini kemudian dikenal dengan nama “Langkah Bersejarah” (The Bandung Walks). Kira-kira pukul 09.00 WIB, semua delegasi masuk ke dalam Gedung Merdeka.

Tidak lama kemudian rombongan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia, Soekarno dan Mohammad Hatta, tiba di depan Gedung Merdeka dan disambut oleh rakyat dengan sorak-sorai dan pekik “merdeka”. Di depan pintu gerbang Gedung Merdeka kedua pimpinan Pemerintah Indonesia itu disambut oleh lima perdana menteri negara sponsor.

Pada pukul 10.20 WIB setelah diperdengarkan lagu kebangsaan Indonesia: “Indonesia Raya”, Presiden Indonesia, Soekarno, mengucapkan pidato pembukaan yang berjudul “Let a New Asia And a New Africa be Born” (Mari Kita Lahirkan Asia Baru dan Afrika Baru). Dalam kesempatan tersebut Presiden Soekarno menyatakan bahwa kita, peserta konferensi, berasal dari kebangsaan yang berlainan, begitu pula latar belakang sosial dan budaya, agama, sistem politik, bahkan warna kulit pun berbeda-beda, namun kita dapat bersatu, dipersatukan oleh pengalaman pahit yang sama akibat kolonialisme, oleh keinginan yang sama dalam usaha mempertahankan dan memperkokoh perdamaian dunia. Pada bagian akhir pidatonya beliau mengatakan:

Saya berharap konferensi ini akan menegaskan kenyataan, bahwa kita, pemimpin-pemimpin Asia dan Afrika, mengerti bahwa Asia dan Afrika hanya dapat menjadi sejahtera, apabila mereka bersatu, dan bahkan keamanan seluruh dunia tanpa persatuan Asia Afrika tidak akan terjamin. Saya harap konferensi ini akan memberikan pedoman kepada umat manusia, akan menunjukkan kepada umat manusia jalan yang harus ditempuhnya untuk mencapai keselamatan dan perdamaian. Saya berharap, bahwa akan menjadi kenyataan, bahwa Asia dan Afrika telah lahir kembali. Ya, lebih dari itu, bahwa Asia Baru dan Afrika Baru telah lahir!

Pidato tersebut berhasil menarik perhatian dan mempengaruhi hadirin yang dibuktikan dengan adanya usul Perdana Menteri India dan didukung oleh semua peserta konferensi untuk mengirimkan pesan ucapan terimakasih kepada presiden atas pidato pembukaannya.

Pada pukul 10.45 WIB, Presiden Indonesia, Soekarno, mengakhiri pidatonya, dan selanjutnya sidang dibuka kembali. Secara aklamasi, Perdana Menteri Indonesia terpilih sebagai ketua konferensi. Selain itu, Ketua Sekretariat Bersama, Roeslan Abdulgani, dipilih sebagai sekretaris jenderal konferensi.

Kelancaran jalannya konferensi dimungkinkan oleh adanya pertemuan informal terlebih dahulu di antara para pimpinan delegasi negara sponsor dan negara peserta sebelum konferensi dimulai yaitu pada 17 April 1955. Pertemuan tersebut menghasilkan beberapa kesepakatan yang bertalian dengan prosedur acara, pimpinan konferensi, dan lain-lain yang dipandang perlu. Beberapa kesepakatan itu berisi antara lain bahwa prosedur dan acara konferensi ditempuh dengan sesederhana mungkin dan dalam memutuskan sesuatu akan ditempuh sistem musyawarah  dan  mufakat  (sistem konsensus).

Sidang konferensi terdiri atas sidang terbuka untuk umum dan sidang tertutup hanya bagi peserta konferensi. Dibentuk tiga komite, yaitu Komite Politik, Komite Ekonomi, dan Komite Kebudayaan. Semua kesepakatan tersebut selanjutnya disetujui oleh sidang dan susunan pimpinan konferensi adalah sebagai berikut:

Ketua Konferensi: Ali Sastroamidjojo, Perdana Menteri Indonesia. Ketua Komite Politik: Ali Sastroamidjojo, Perdana Menteri Indonesia. Ketua Komite Ekonomi: Roosseno, Menteri Perekonomian  Indonesia. Ketua Komite Kebudayaan: Muhammad Yamin, Menteri  Pendidikan,  Pengajaran,  dan Kebudayaan Indonesia. Sekretaris Jenderal Konferensi: Roeslan Abdulgani, Sekretaris Jenderal Kementerian Luar Negeri Indonesia.

Dalam sidang-sidang selanjutnya muncul beberapa kesulitan yang bisa diduga sebelumnya. Kesulitan-kesulitan itu terutama terjadi dalam sidang-sidang Komite Politik. Perbedaan pandangan politik dan masalah-masalah yang dihadapi antara Negara-negara Asia Afrika muncul ke permukaan, bahkan sampai pada tahap yang relatif panas.

Namun berkat sikap yang bijaksana dari pimpinan sidang serta hidupnya rasa toleransi dan kekeluargaan di antara peserta konferensi, maka jalan buntu selalu dapat dihindari dan pertemuan yang berlarut-larut dapat diakhiri.

Setelah melalui sidang-sidang yang menegangkan dan melelahkan selama satu minggu, pada pukul 19.00 WIB. (Terlambat dari yang direncanakan) tanggal 24 April 1955, Sidang Umum terakhir Konferensi Asia  Afrika dibuka. Dalam Sidang Umum itu dibacakan oleh sekretaris jenderal konferensi rumusan pernyataan dari tiap-tiap panitia (komite) sebagai hasil konferensi. Sidang Umum menyetujui seluruh pernyataan tersebut, kemudian sidang dilanjutkan dengan pidato sambutan para ketua delegasi. Setelah itu, ketua konferensi menyampaikan pidato penutupan dan menyatakan bahwa Konferensi Asia Afrika ditutup.

Konsensus itu dituangkan dalam komunike akhir, yang isinya adalah mengenai:  Kerja sama ekonomi; Kerja sama kebudayaan; Hak-hak asasi manusia dan hak menentukan nasib sendiri; Masalah rakyat jajahan; Masalah-masalah lain; Deklarasi tentang memajukan perdamaian dunia dan kerja sama internasional.

Deklarasi yang tercantum pada komunike tersebut, selanjutnya dikenal dengan sebutan Dasasila Bandung, yaitu suatu pernyataan politik berisi prinsip-prinsip dasar dalam usaha memajukan perdamaian dan kerja sama dunia.


Dasasila Bandung:

[1] Menghormati hak-hak asasi manusia dan menghormati tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip dalam Piagam PBB.
[2] Menghormati kedaulatan dan keutuhan wilayah semua negara.
[3] Mengakui persamaan derajat semua ras serta persamaan derajat semua negara besar dan kecil.
[4] Tidak campur tangan di dalam urusan dalam negeri negara lain.
[5] Menghormati hak setiap negara untuk mempertahankan dirinya sendiri atau secara kolektif, sesuai dengan Piagam PBB.
[6] (a) Tidak menggunakan pengaturan-pengaturan pertahanan kolektif untuk kepentingan khusus negara besar mana pun.
(b) Tidak melakukan tekanan terhadap negara lain mana pun.
[7] Tidak melakukan tindakan atau ancaman agresi atau menggunakan kekuatan terhadap keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik negara mana pun.
[8] Menyelesaikan semua perselisihan internasional dengan cara-cara damai, seperti melalui perundingan, konsiliasi, arbitrasi, atau penyelesaian hukum, ataupun cara-cara damai lainnya yang menjadi pilihan pihak-pihak yang bersangkutan sesuai dengan Piagam PBB.
[9] Meningkatkan kepentingan dan kerja sama bersama.
[1] Menjunjung tinggi keadilan dan kewajiban-kewajiban internasional.


Dampak Konferensi Asia Afrika

Konferensi Asia Afrika di Bandung telah membakar semangat dan menambah kekuatan moral para pejuang bangsa-bangsa Asia dan Afrika yang pada masa itu tengah memperjuangkan kemerdekaan tanah air mereka, sehingga kemudian lahirlah sejumlah negara merdeka di kawasan Asia dan Afrika. Semua itu menandakan bahwa cita-cita dan semangat Dasasila Bandung semakin merasuk ke dalam tubuh bangsa-bangsa Asia dan Afrika.

Konferensi Asia Afrika juga telah berhasil menumbuhkan semangat solidaritas di antara Negara-negara Asia Afrika, baik dalam menghadapi masalah internasional maupun regional. Beberapa konferensi antar-organisasi dari negara-negara tersebut diselenggarakan, seperti Konferensi Mahasiswa Asia Afrika, Konferensi Setiakawan Rakyat Asia Afrika, Konferensi Wartawan Asia Afrika, dan Konferensi Islam Afrika Asia.

Jiwa Bandung dengan Dasasilanya telah mengubah pandangan dunia tentang hubungan internasional. Bandung telah melahirkan paham Dunia Ketiga atau “Non-Aligned” (Non-Blok) terhadap Dunia Pertama Washington, dan Dunia Kedua Moscow. Jiwa Bandung telah mengubah juga struktur Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Forum PBB tidak lagi menjadi forum eksklusif Barat atau Timur saja. Sumber: http://asianafricanmuseum.org 


Tidak ada komentar: