Abu Dzar Sepeninggal Nabi Saw (Bag. 1)


Oleh Dr. Ali Syari’ati

Hari-hari pun berlalu, dan Nabi wafat. Tiba-tiba, “angin yang telah terkungkung” dibebaskan dari segala penjuru, dan Ali bin Abi Thalib, pengejawantahan ruh revolusi ini, terkucil di rumahnya sebagai pertanda bahwa keadilan sekali lagi dipisahkan dari agama: sebagai pertanda bahwa massa rakyat sekali lagi barus meninggalkan gelanggang, dan agama sekali lagi digunakan secara eksklusif oleh para agamawan elit, para aristokrat dan penguasa, dan karena hal inilah maka Ali dan orang-orang dalam parameternya: Abu Dzar, seorang pria gurun; Bilal, seorang budak Ethiopia asing tanpa kerabat famili atau pekerjaan; Salman Al-Farisi, seorang bukan Arab yang bekas budak; Suhaib, seorang asing yang datang dari Yunani; Ammar, seorang peranakan yang lahir dari ibu budak berkulit hitam dan ayah dari Arabia bagian selatan; Maitsam al-Thamar, seorang penjual kurma yang dilanda kemiskinan...yang merupakan orang-orang kepercayaan dari pemimpin revolusi Islam, meninggalkan gelanggang ― dan ― para sahabat senior: Abdurrahman bin Auf, Sa’d bin Abi Waqqas, Khalid bin Walid, Thalhah, Zubair, Abu Bakar, Umar dan Utsman, yang semuanya berasal dari kalangan aristokrat di zaman Jahiliah, mengambil kendali pimpinan dari gerakan ini, menguasai masyarakat, dan menciptakan suatu kelompok politik yang akrab.
 
Kecenderungan Islam yang kuat dan yang tak diharap-harap itu ke kanan, yang dimulai dengan pemilihan di Saqifah[11] yang mirip kudeta pada masa Abu Bakar itu, hanya mengandung aspek politik, [12] dan dalam masa Umar, aspek ekonomi, menampakkan diri dengan menggolong-golongkan kaum Muslimin dalam penerimaan gaji dari pemerintah, bahkan hendak menggolong-golongkan para istri Nabi ke dalam dua ukuran, tergantung pada kelas mereka sebelum kawin (dengan Nabi saw), orang merdeka atau budak! Yang mana para istri Nabi yang asalnya wanita merdeka (asal budak), keberatan, dan menolak hak-hak istimewa itu.

Tetapi dalam masa pemerintahan Ustman, kecenderungan (ke kanan) ini mencapai puncaknya: masyarakat menjadi terkategorisasi; kaum aristokrat mengambil kekuasaan absolut atas pemerintahan; penaklukan-penaklukan Islam di Timur dan di Barat yang meliputi sumber-sumber ekonomi, rampasan perang, serta banyak lagi pos-pos politik dan administratif, dari Transoxania Iran sampai ke Afrika Utara, ditempatkan di bawah kekuasaan pemerintahan Madinah; para sahabat Nabi, mujahidin, kaum Muhajirin[13] dan Anshar,[14] dipalingkan dari keadaannya sebagai partisan akidah revolusioner menjadi para politikus dan tokoh-tokoh kekuasaan dan kekayaan; terciptalah suatu kelas penguasa[15] yang terdiri dari orang-orang yang pada umumnya saleh, miskin, komited, pejuang.

Suatu golongan borjuis baru pun terbentuklah dari banjir kekayaan dalam bentuk rampasan perang, zakat dari kaum Muslimin, jizyah (dari yang non-muslim yang berada di bawah perlindungan umat Islam) dan dari orang-orang kafir,[16] yang mengalir masuk ke Madinah yang ‘miskin’, yang bukan saja mengubah Madinah Islam, umat muslimin dan mujahidin Perang Badar dan Perang Uhud, tetapi juga isi dan orientasi sosial Islam; dan sebagai akibatnya, mengubah pandangan keagamaan.

Ini mengubah Islam dari bentuk ‘akidah revolusioner’ menjadi suatu bentuk ‘agama penguasa’. Pembelokan ini, yang mana kudeta (pencurian imamah dan khilafah yang merupakan hak Imam Ali yang berdasarkan surah al Maidah ayat 67 yang memerintahkan Nabi untuk mengumumkan imamah dan khilafah Ali saat Haji Wada’) yang dirancang di Saqifah telah menyimpang ke kanan, dalam masa kurang dari seperempat abad –bertepatan dengan seperempat abad Ali terkucil di rumahnya, dalam masa-masa penentuan politik pada tahun-tahun ketika sejarah Islam sedang dibentuk, ia terpaksa bertani di Yanba’, atau berada di rumahnya untuk melakukan pengumpulan mushaf Al-Qur’an, yang dijaganya untuk tidak sampai diubah pula ―mencapai titik di mana wajah politik dan intelektual Islam adalah Mu’awiyah (gubernur dalam masa pemerintahan para khalifah awal itu) yang independen, Marwan bin Hakam, orang yang diasingkan oleh Nabi, dan Ka’ab al-Ahbar, seorang rabbi Yahudi yang baru-baru ini masuk Islam (demi menyusup ke tubuh pemerintahan Umar dan Utsman) dan menjadi mullah Islam ―Utsman, ‘khalifah Rasul’, biasa meminta kepada Ka’ab untuk menafsirkan Al-Qur’an; Utsman menganggap tafsiran Ali bin Abi Thalib (yang merupakan washi-nya Rasulullah) dan Abu Dzar justru dianggap tidak tepat oleh Utsman!

Utsman, untuk membenarkan sistem politik dan ekonominya yang baru, yang merupakan tiruan palsu dari pemerintahan Raja Persia dan Kaisar Roma, tidak berusaha apa-apa untuk menipu, barangkali karena pada waktu itu, cara itu tidak akan efektif, sebab orang telah melihat bagaimana pemerintahan Islam dengan mata kepala mereka sendiri, dan juga pekerjaan Utsman lebih memalukan ketimbang kemampuan untuk berusaha membenarkannya sebagai yang Islami.

Utsman adalah seorang penentu pertama suatu daftar bid’ah (inovasi) yang ‘pertama kali’ muncul dalam Islam. Untuk pertama kalinya, pemimpin menjadi penghuni istana; untuk pertama kalinya, ia menyusun pengawal sekuriti pejabat; untuk pertama kalinya, ia mempunyai pengurus rumah tangga; untuk pertama kalinya hubungan antara massa rakyat dan khalifah dibatasi oleh seorang perantara; untuk pertama kalinya baitul mal, perbendaharaan umum ditempatkan di bawah kekuasaan khalifah, sehingga si pemegang kunci itu pergi ke masjid dan mengumumkan kepada rakyat, para pemilik perbendaharaan umum itu, bahwa, “Karena Khalifah (dianggap tidak boleh) campur tangan, maka saya akan memberikan kunci-kunci itu kembali kepada kamu. Saya berhenti. Lakukan apa yang kamu kehendaki”; untuk pertama kalinya, seorang Muslim dimata-matai karena menyerang metoda khalifah atau para agennya; untuk pertama kalinya, muncul pembuangan politik; untuk pertama kalinya, rakyat dianiaya oleh sang pemimpin (seperti penganiayaan terhadap Abdullah ibn Mas’ud); untuk pertama kalinya, Al-Qur’an dipergunakan sebagai alat politik untuk mengelabui rakyat; untuk pertama kalinya, para penguasa dapat berbuat sekehendaknya atas nasib rakyat dan lepas tangan dari tanggung-jawab hukum dan tanggung jawab Islami; untuk pertama kalinya, ikatan-ikatan kesukuan dan famili menjadi tangga untuk peningkatan politik dan sosial; untuk pertama kalinya, jabatan-jabatan tinggi menjadi monopoli dan eksklusif bagi para anggota kelompok politik yang terafiliasi pada khalifah dan, untuk mencapai kedudukan itu, kriteria Islam dan ketakwaan ditundukkan kepada ikatan kekeluargaan dan politik; untuk pertama kalinya, eksploitasi golongan, kontradiksi, diskriminasi, kapitalisme zalim (penimbunan kekayaan), aristokrasi, nilai-nilai jahiliah, semangat kesukuan, usia tua, kekayaan, ras, keturunan, pemujaan pribadi dan tendensi-tendensi kesukuan, mengalahkan persaudaraan Islam serta nilai-nilai rohani dan persamaan sosial.

Hak-hak istimewa dalam bidang ekonomi menggantikan ketakwaan, latar belakang jihad, kedekatan kepada Nabi, pengetahuan Al-Qur’an dan kebajikan individu; semangat kekuasaan mengalahkan kepemimpinan ― imamah[17] ― sistem konservatif mengalahkan gerakan revolusioner; pencarian kedudukan eksklusif dalam keagamaan mengalahkan kemanusiaan, perekonomian dan politik mengalahkan usaha mencari kesamaan Islami yang memihak massa rakyat dan kemerdekaan ―di tengah-tengahnya berada seorang tak dikenal, yang bahkan mempunyai tanggung jawab yang sama dalam nasib politik umat dan mempunyai hak yang sama untuk campur tangan sebagai orangnya khalifah, pada tingkatan yang sama seperti para Sahabat besar ― tetapi, pada umumnya, permainan kompromi mengalahkan kerinduan kepada kebenaran; politik mengalahkan perjuangan; slogan mengalahkan kebenaran Islam; para sahabat senior mendaulat para mukminin; golongan mengalahkan umat; rumah khalifah mengatasi masjid; aristokrasi kesukuan mengatasi martabat manusia; kejahilan lama mengatasi revolusi baru; bid’ah mengatasi sunnah, dan akhirnya, keluarga Abu Sufyan mengatasi keluarga Muhammad Saw.

Sebagai akibatnya, Ali bin Abi Thalib (sang pemilik imamah dan kekhalifahan yang berdasarkan wahyu dan khutbah Haji Wada’ Rasulullah) malah dilucuti! Dan Abu Dzar ―yang menanggung penderitaan pedih dalam menerima kekalahan Ali dalam pemilihan Abu Bakar dan penunjukkan Umar, telah datang lagi ―ia tidak dapat tinggal berdiam diri, ketika segala-galanya telah berubah: despotisme, emas dan penipuan, ketiga trinitas [18] dalam jubah putih khalifah Rasul, di balik samaran tauhid yang indah menjadi jaya, mengalahkah rakyat ― yang merupakan korban-korban yang menerus bagi trinitas ini. (Bersambung ke Bag. 2)

Tidak ada komentar: