Abu Dzar Sepeninggal Nabi Saw (Bag. 2)




Oleh Dr. Ali Syari’ati

Nilai dari apa yang dilakukan Abu Dzar bukan saja bahwa ketika dikonfrontasi oleh kepalsuan lalu ia membela hak dan kebenaran, dan akhirnya, ketika dikonfrontasi oleh penyelewengan, ia membela jalan yang benar; namun, yang memberi wajah yang menonjol dan istimewa kepadanya di antara sekalian wajah revolusioner mujahidin adalah orientasi yang tepat dan jelas yang dipilihnya dalam perjuangannya. Karena hal inilah maka ia, dengan suatu penilaian yang benar, menemukan sebab-sebab utama dari semua penyelewengan; dan kenyataan bahwa ia menunjukkan apa yang kufur, yang benar dan yang menyeleweng ini, dan dari mana asalnya.

Dalam perjuangannya, ia tidak bersandar pada ungkapan-ungkapan yang tidak jelas, slogan-slogan kerdil, isu-isu, kebutuhan, kepedihan-kepedihan yang subjektif, tujuan-tujuan pemujaan khayalan dari kepekaan dan perasaan-perasaan filosofik, ilmiah, etik, teologik, suprastruktural yang bersifat polemik, yang bersifat menyimpang, subjektif, kepekaan intelektual dan perasaan-perasaan ulama, ahli makrifat, ahli fiqih dan ahli teologis yang kemudian justru mempolarisasikan semua konflik dan pergolakan dalam masyarakat Islam pada sudut-sudut itu, sehingga kedua slogan utama, imamah dan keadilan, [19] terpisah dari pemikiran-pemikiran itu.

Ia tidak mengambil akibat sebagai ganti sebab. Ia menunjukkan ‘dari mana orang harus mulia’; ia memberikan kejelasan mana sisi tajam dari perjuangan yang harus diperhatikan; ia mengajarkan bahwa konflik-konflik simpang siur serta tindakan insidental yang keliru menyeret perjuangan ke gelanggang yang justru dikehendaki musuh, sehingga, walaupun kemenangan tercapai, tidak merugikan dan menyakiti musuh dan memerlukan penyembuhan.

Ia menetapkan garis utama perjuangannya sebagai perjuangan melawan diskriminasi golongan, untuk menegakkan keadilan. Karena kedua slogan ini begitu luas, sehingga khalifah dapat pula menyerukannya dengan perantara sarana-sarana propaganda dari khalifah itu, yakni mimbar dan mihrab, untuk membela dan membenarkannya, melalui para propagandis Islam yang resmi dan berkuasa ― para penyalur Hadis, mubalighin, para khatib, ahli-ahli tafsir, para faqih (ahli fiqh) dan ulama ― sehingga slogan-slogan itu tidak akan efektif lagi; Abu Dzar, sebagai pelajaran kepada orang-orang seperti dia, yang berusaha untuk mengembalikan Islamnya Muhammad yang diikuti Ali bin Abi Thalib yang dipilih sebagai imam dan khalifah berdasarkan wahyu, kembali kepada Al-Qur’an. Ia mengambil pekik pertempurannya dari situ.

“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka akan siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahanam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: ‘Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.’” [20]

Kinz adalah istilah Arab (dalam ayat di atas) untuk ‘menyimpan’, dan bermakna ‘menumpuk modal’. Emas dan perak adalah manifestasi-manifestasi kapitalisme (yang melahirkan kezaliman dan penindasan). Infaq, ‘tindakan menafkahkan’, berasal dari kata nafaq yang berarti ‘pecah’, yang berasal dari bentuk “if’al” kata kerja, memberikan arti yang berlawanan dengan yang pertama, yakni menghapuskan dan menahikan suatu keterpecahan pada sesuatu. Jelaslah bahwa yang dimaksud dengan ‘keterpecahan’ di sini ialah suatu retak, suatu lekang dalam masyarakat yang dibuat oleh kapitalisme dan eksploitasi ekonomi. Yang dimaksud ialah perpecahan kelas atau rekah, permukaan yang tidak seimbang, tidak simetris atau tidak proporsional dari kehidupan masyarakat.

Jalan Allah, dalam bahasa Islam ― bukan bahasa Muslimin ― di sini berarti jalan manusia. Mengapa? Karena dalam seluruh ayat-ayat yang berbicara tentang masalah-masalah sosial dan posisi sosial (bukan dalam posisi ‘aqidah), Allah dan massa rakyat, atau manusia (naas) berada pada front yang sama. Tuhannya Islam tidak mempunyai kaul tersendiri, tidak memerlukan kurban, dupa atau kemenyan khusus untuk Diri-Nya sendiri. Yang bagi kepentingan massa manusia dan masyarakat (bukan yang untuk individu) menjadi khas bagi Tuhan dan untuk Tuhan. “Jika kami meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik...” [21] bermakna, “apabila kamu memberikan pinjaman yang baik kepada manusia...”.

Maal (harta) Allah (malullah; harta Allah) bait Allah (Baitullah; rumah Allah) dan lillah (karena Allah) diwujudkan secara obyektif dalam masyarakat, harta manusia, rumah manusia. “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Makkah) yang diberkati dan menjadi petunjuk bagi semua manusia” [22] yang bermakna bahwa Ka’bah itu adalah untuk manusia, karena manusia adalah keluarga Allah. Orang-orang yang tidak dapat melihat seperti ini, dan yang sukar baginya untuk menerima kepercayaan seperti ini, berada di bawah pengaruh pandangan keagamaan serta bentuk-bentuk deskriptif tentang Ketuhanan yang dikemukakan oleh agama-agama lain. (Bersambung ke Bag. 3)

Tidak ada komentar: