Abu Dzar Sepeninggal Nabi Saw (Bag. 4)


Oleh Dr. Ali Syari’ati

Pada suatu hari, Mu’awiyah mengundang Abu Dzar ke rumahnya. Ia tidak lagi menunjukkan penghormatan dan keramahan, tetapi Abu Dzar tidak mengurangi wajahnya yang kasar atau nada keberangannya, walaupun sedikit, dan akhirnya, situasi mencapai titik ancaman. Abu Dzar, apabila saya akan membunuh seorang sahabat Nabi tanpa persetujuan Utsman, maka engkaulah ia, tetapi saya harus mendapatkan persetujuan Utsman bagi kematianmu. Abu Dzar, yang kau lakukan memisahkan engkau dan aku. Engkau menyebabkan orang-orang miskin dan rendah bangkit melawan kami.” Dan, Abu Dzar, dalam jawabannya, “Berlakulah sesuai dengan sunnah Nabi Allah, supaya saya tidak akan mengganggu engkau. Apabila tidak, sekiranya masih ada satu nafas lagi, saya akan menggunakan satu nafas itu untuk menyampaikan sunnah Nabi.”

Propaganda Abu Dzar tersebar. Rakyat Damaskus, yang sudah mulai berpikir bahwa Islam adalah rezim Romawi yang sedang memerintah mereka, sedikit demi sedikit, mulai menemukan wajah Islam yang sesungguhnya. Kegemaran mencari keadilan dan kebebasan di sepanjang iman keagamaan, sedang timbul dalam hati, dan rakyat jelata, yang sebelumnya telah menerima kemiskinan dan kerendahan melalui agama, untuk pertama kalinya belajar dari Abu Dzar bahwa, “Bilamana kemiskinan masuk melalui suatu pintu, agama pergi melalui pintu yang lainnya.”

Masjid masih merupakan rumah Allah, rumah rakyat, dan Abu Dzar, masih merupakan basis perjuangan. Mu’awiyah tidak berkuasa atasnya. Baru setelah meninggalnya Ali, maka masjid-masjid dikosongkan dari Tuhan dan keluarga Allah ― rakyat ― dan menjadi basis bagi khilafat, dan sebagai perangkap yang digunakan oleh kalangan ‘alim ulama khilafat! Rakyat mengelilingi Abu Dzar dengan gairah dan harapan yang besar. Ia berbicara tentang kebenaran yang jalin-menjalin dengan hak-hak: Islam yang disertai oleh keadilan Tuhan, Yang juga memikirkan makanan rakyat dan yang mengajari rakyat. Sebagai ganti bius, ia merangsang mereka dan mengancam kehancuran Istana Hijau yang belum rampung.

Mu’awiyah mengirimkan Abu Dzar untuk jihad di Siprus. Apabila ia jaya, itu akan memberikan respek dan kejayaan bagi Mu’awiyah, respek yang merupakan suatu ‘kehormatan’ bagi Islam! Dan, apabila Abu Dzar tewas, Mu’awiyah akan terbebas dari setiap gangguannya tanpa tangannya dilumuri darah. Karena penyalahgunaan jihad inilah, maka Syi’ah kemudian mengeluarkan suatu fatwa, bahwa tanpa adanya kepemimpinan Imam adil yang sesungguhnya maka jihad itu dilarang.[24] Namun Abu Dzar kembali dengan segar bugar dan, tanpa ragu-ragu, dari front ia terus menuju masjid dan memulai pekerjaannya!

Mu’awiyah mengenal Abu Dzar, mengenal betapa besar pemikiran Abu Dzar tentang pembebasan budak dan memuaskan rasa lapar rakyat. Ia menugaskan seorang budak, “Bawalah kantong berisi emas ini kepada Abu Dzar, dan apabila engkau berhasil membuat dia menerimanya, maka engkau merdeka!” Budak itu pergi kepada Abu Dzar. Abu Dzar menolak, sedang budak itu mendesak, menangis dan memohon, sementara Abu Dzar hanya menjawab, “tidak!” Akhirnya ia berkata, “Wahai Abu Dzar, semoga Allah memberkati Anda, ambillah uang ini, karena kemerdekaan saya terletak pada memberikan uang ini kepada Anda!” Abu Dzar, tanpa bergeming, mengatakan, “Tetapi perbudakan saya terletak dalam menerima uang ini dari Anda.”

Tidak ada siasat licin yang dapat mengena terhadap laki-laki yang kepala batu, yang keras kepala, takwa dan sadar ini. Hanya ialah kekerasan yang tinggal. Ia menulis kepada Utsman: Apabila Anda memerlukan Damaskus, bawalah keluar Abu Dzar dari sini, karena berbagai kompleks telah membengkak; mata luka telah terbuka dan ledakan telah dekat. Utsman memerintahkannya supaya mengirim Abu Dzar ke Madinah. Mereka menempatkannya di atas pelana beban yang terbuat dari kayu, di punggung unta, dan menugaskan beberapa orang budak yang kejam membawanya kembali ke Madinah. Mu’awiyah nemerintahkan bahwa ia tidak boleh berhenti selama perjalanan ― dari Damaskus ke Madinah.

Penunggang itu mendekati Madinah, letih dan terluka. Di pinggir kota ia melihat Ali dan bukit Sala’, dan di sampingnya, Utsman dan beberapa orang lain. Dari jauh ia berseru, “Saya berikan kabar gembira kepada Madinah akan suatu pemberontakan besar yang tidak putus-putusnya.” Khalifah mengeluarkan perintah melarang siapa pun untuk mengikuti fatwa keagamaan dari Abu Dzar. Apa yang telah dilihatnya di Damaskus, telah membuatnya menjadi lebih cemas dan tegar dalam perjuangan. Abdurrahman bin Auf, kepala dewan khilafat di zaman Umar, meninggal dunia dan warisannya yang berlimpah-limpah dalam bentuk emas dan perak, disusun di hadapan Utsman. Abu Dzar mendengar bahwa Utsman telah berkata, “Abdur-Rahman diberkati Allah; ia hidup dengan baik dan, ketika ia meninggal, ia meninggalkan seluruh kekayaannya.”

Abu Dzar tergoncang dan berang, menyerbu rumah Utsman seorang diri. Di tengah jalan ia menemukan sepotong tulang unta. Ia memungut dan membawanya. Kepada Utsman, ia berseru, “Engkau mengatakan bahwa Allah memberkati seorang laki-laki yang mati dan meninggalkan seluruh emas dan perak ini?” Utsman menjawab, “Abu Dzar, apakah seseorang yang telah membayar zakatnya masih mempunyai kewajiban lain lagi?” Abu Dzar membacakan ayat kinz (penimbunan kekayaan) dan mengatakan, “Di sini masalahnya bukan zakat; masalahnya menyangkut seseorang yang menimbun emas dan perak dan tidak memberikannya pada Jalan Allah.”

Ka’ab al-Ahbar ― seorang agamawan, dahulunya Yahudi ― yang sedang duduk di sisi Utsman, berkata, “ayat ini bertalian dengan ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani); ayat itu tidak bersangkutan dengan kaum muslimin.” Abu Dzar berteriak kepadanya, “Anak Yahudi! Engkau hendak mengajarkan agama kami kepada kami? Semoga ibumu meratapi engkau!” Utsman mengatakan, “Apabila seseorang yang telah membayar zakatnya, membangun sebuah istana, dari bata emas dan perak berselang-seling, tidak ada salahnya.” Lalu ia berpaling kepada Ka’ab dan menanyakan pendapatnya. Ka’ab menyatakan pendapat-nya, “Ya, yang mulia. Demikianlah adanya!” Abu Dzar menyerang dia. Ka’ab, karena ketakutan, bersembunyi di belakang Utsman dan menempatkan dirinya dalam perlindungan khalifah itu.

Pemandangan itu sempurna! Pemandangan dari drama seluruh sejarah! Di satu pihak, emas, kekerasan dan agama penguasa dalam wajah-wajah Abdurrahman, Utsman dan Ka’ab al-Ahbar, dan betapa tepat dan akuratnya! Prinsip, emas, kekerasan pendukungnya, dan agama, tersembunyi di balik kekuasaan yang membenarkannya. Berhadapan dengan itu Abu Dzar, korban eksploitasi, despotisme dan penipuan, manifestasi dari agama yang dikutuk oleh sejarah dan golongan tertindas dalam sejarah ― Tuhan dan manusia!

Abu Dzar, sendirian, telah dilucuti, tertindas, dengan semua ini, bertanggung-jawab dan menyerang, mengambil Ka’ab dari lindungan kekuasaan, dan dengan tulang unta itu, ia memukulnya demikian keras di kepalanya, sehingga darah mulai mengalir. Utsman mengatakan, “Betapa melelahkan engkau ini, Abu Dzar, tinggalkan kami.” Abu Dzar berkata, “Saya sudah bosan melihat engkau. Ke mana saya harus pergi?” “Ke Rabadzah.”
Marwan bin Hakam, seorang buangan Nabi, ditugaskan mengasingkan Abu Dzar. Ali mendengar tentang peristiwa itu. Ia bersedih hati. Ia memanggil Hasan, Husein dan Aqil, lalu pergi mengantarkannya. Marwan berdiri di hadapan Ali, “Khalifah telah melarang orang mengantarkan Abu Dzar.” Ali, dengan sepucuk cambuk, melewatinya dan pergi bersama Abu Dzar sampai ke Rabadzah.

Rabadzah, gurun yang panas berapi-api tanpa air atau pertanian di lintasan jalan jemaah haji, menjadi sepi dan sunyi. Di sana ia mendirikan kemahnya yang telah sobek dan memenuhi kebutuhannya dengan beberapa ekor kambing yang dimilikinya. Bulan-bulan berlalu. Kemiskinan makin menjadi-jadi, dan kelaparan semakin tegar. Satu demi satu kambingnya mati, dan dia serta keluarganya menghadapi maut dalam kesepian gurun pasir. Putrinya meninggal. Ia menanggungnya dengan sabar dan memandangnya sebagai pada jalan Allah. Sebentar kemudian, kelaparan menyerang putranya. Ia merasa bertanggungjawab. Ia pergi ke Madinah dan mencari uang tunjangannya, yang telah dihentikan oleh Utsman. Utsman tidak menjawabnya. Ia kembali dengan tangan hampa. Ia dengan tangannya sendiri menguburkan putranya itu. (Bersambung ke Bag. 5)

Tidak ada komentar: