Hujjah Akidah Islam Syi’ah (Bag. 1)


“Tulisan ini berjudul Diskusi dengan Ulama as Syafi’i, namun karena paparan yang dikemukakan oleh Syaikh Muhammad Mar’i al Amin al Antaki ternyata banyak berkenaan dengan landasan dasar Syi’ah, maka judulnya pun didaptasikan”

Oleh Syaikh Muhammad Mar’i al-Amin al-Antaki

Setelah berita masuknya kami ke dalam mazhab Ahlulbait menyebar luas, aku didatangi oleh salah seorang ulama besar bermazhab asy-Syafi’i, ia adalah seorang alim yang terkenal dan terhormat di Kota Hilb. Ia menanyakan kepadaku dengan lemah lembut, “Mengapa engkau mengikuti mazhab Syi’ah dan meninggalkan mazhabmu (asy-Syafi’i)? Dan apa dalilmu bahwa Ali lebih berhak menjadi khalifah daripada Abu Bakar?” Kemudian, aku pun mulai berdiskusi dengannya secara panjang lebar, dan diskusi ini pun terjadi secara berulang-ulang. Akhirnya, setelah melalui perdebatan yang panjang, ia pun merasa puas dan menerima dalil-dalil yang kami kemukakan kepadanya.[1]

Di antara diskusi tersebut, ia menanyakan kepadaku penjelasan tentang siapakah yang lebih berhak menjadi khalifah, apakah Abu Bakar yang lebih berhak atau ‘Ali? Aku menjawab,  “Sesungguhnya masalah ini adalah sesuatu yang sangat jelas bahwa orang yang berhak menjadi khalifah langsung sepeninggal Rasulullah Saw adalah Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib as, kemudian sepeninggalnya adalah al-Hasan al-Mujtaba as, kemudian al-Husain as yang syahid di Karbala, kemudian ‘Ali bin al-Husain Zainal Abidin as, kemudian Muhammad bin Ali al-Baqir as, kemudian Ja’far bin Muhammad ash-Shadiq as, kemudian Musa bin Ja’far al-Kazhim as, kemudian ‘Ali bin Musa ar-Ridha as, kemudian Muhammad bin ‘Ali al-Jawad as, kemudian ‘Ali bin Muhammad al-Hadi as, kemudian al-Hasan bin ‘Ali al-‘Askari as, kemudian al-Hujjah bin al-Hasan al-Mahdi Imam al-Gha’ib al-Muntazhar (semoga Allah mempercepat kemunculannya).

Dalil Syi’ah akan hal tersebut adalah bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw, yang telah disepakati kebenarannya oleh Sunni dan Syi’ah. Kitab-kitab Syi’ah penuh dengan hujjah dan dalil yang kuat, dan mereka menguatkan pendapat dan keyakinan mereka dari kitab-kitab kalian sendiri, Ahlus Sunnah wal Jamaah. Akan tetapi, kalian tidak mau merujuk ke kitab-kitab Syi’ah dan meneliti apa yang terkandung di dalamnya, dan hal ini merupakan bentuk kefanatikan yang buta.”

Dalil al-Qur’an
Allah Swt. berfirman, “Sesungguhnya wali kamu hanyalah Allah,  Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat (sedekah) sementara mereka sedang melakukan ruku” (Qs. al-Maidah [5]:55). Ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan wilâyah (kepemimpinan) ‘Ali tanpa ada keraguan sedikit pun, sesuai ijma’ (kesepakatan) Syi’ah dan mayoritas ulama Ahlus Sunnah wal Jamah, seperti ath- Thabari, ar-Razi, Ibn Katsir, dan banyak ulama lainnya, yang semuanya berkata bahwa ayat yang mulia tersebut diturunkan berkenaan dengan ‘Ali bin Abi Thalib as.[2]

Tidaklah tersembunyi bagi setiap orang yang berpikir bahwa Allah Yang Mahatinggi lagi Mahaagung, Dialah yang mengutus para rasul kepada umat-umat manusia, Dia tidak bergantung pada kerelaan manusia. Demikian juga tentang perkara khilafah. Perkara ini merupakan ketetapan Allah, bukan dengan musyawarah atau pun dengan pemilihan. Sebab, kekhalifahan (khilafah) merupakan salah satu rukun (sendi) agama, sedangkan Allah Swt. tidaklah sekali-kali menyerahkan salah satu rukun dari rukun-rukun agama-Nya kepada pilihan umat manusia, dimana mereka ini tidak terlepas dari pengaruh hawa nafsunya (baca tidak maksum). Akan tetapi, orang yang melaksanakan tugas khilafah sepeninggal Rasulullah Saw haruslah berdasarkan perintah Allah Swt dan orang yang maksum (terpelihara dari dosa dan kesalahan). Ayat al-Maidah tersebut merupakan nash yang jelas dalam menetapkan kepemimpinan (wilâyah) ‘Ali as, baik Syi’ah maupun kebanyakan mufasir Sunni sepakat bahwa orang yang memberikan zakat (sedekah) dalam keadaan ruku’ adalah ‘Ali, tidak ada pertentangan dalam hal ini. Oleh karena itu, dengan bersandar kepada ayat tersebut, ‘Ali-lah yang berhak menjadi khalifah sepeninggal Rasulullah Saw.

Kemudian ia (ulama asy-Syafi’i) menyebutkan bahwa Abu Bakar lebih berhak menjadi khalifah karena ia telah menyumbangkan hartanya yang sangat banyak kepada Rasulullah Saw, ia telah menikahkan Nabi Saw dengan putrinya (‘A’isyah), dan ia juga telah menjadi imam shalat jamaah ketika Nabi Saw sakit. Kemudian, aku katakan kepadanya, “Adapun bahwa Abu Bakar telah mempersembahkan hartanya yang sangat banyak, hal ini merupakan pengakuan yang membutuhkan dalil yang mengukuhkannya, sedangkan kami tidak mengakui hal tersebut.” Kemudian aku katakan kepadanya, “Dari mana ia (Abu Bakar) mendapatkan harta tesebut? Dan apakah hal tersebut terjadi di Makkah atau di Madinah?”

Jika engkau katakan bahwa itu terjadi di Makkah, maka sesungguhnya Nabi Saw ketika di Makkah tidak pernah mempersiapkan pasukan tentara dan tidak pernah pula membangun masjid. Demikian juga, orang-orang yang telah masuk Islam saat itu banyak yang berhijrah ke Habasyah (Ethiopia), sedangkan Nabi Saw dan seluruh Bani Hasyim (yang tetap tinggal di Mekkah) tidak diperbolehkan menerima zakat.

Selain itu, Nabi Saw adalah orang yang kaya dengan harta Khadijah. Dan jika engkau katakan bahwa hal itu (infak harta) terjadi di Madinah, maka sesungguhnya Abu Bakar ketika berhijrah, dia hanya memiliki uang sebanyak enam ratus Dirham, yang sebagiannya telah ia tinggalkan untuk keluarganya. Ia hanya membawa uang yang tersisa dari harta tersebut, lalu ia, dan seluruh Muhajirin lainnya, hidup di tengah-tengah suku Anshar dalam keadaan membutuhkan bantuan mereka. Selain itu, Abu Bakar bukanlah seorang pedagang besar; kadang-kadang dia menjual pakaian yang ia pikul di pundaknya, lalu ia bawa ke tempat keramaian orang-orang, kadang-kadang ia mengajar anak-anak, dan kadang-kadang pula ia menjadi tukang kayu, yang membikin pintu dan yang semisalnya bagi orang yang memerlukannya.

Adapun ia telah menikahkan Rasulullah Saw dengan putrinya, maka hal ini tidak mengharuskannya menjadi penguasa bagi kaum Muslimin. Adapun ia menjadi imam shalat berjamaah ketika Nabi Saw sakit,  jika riwayat ini benar, maka ini tidak mengharuskannya menjadi imam kaum Muslimin dan khalifah yang agung. Sebab, shalat jamaah berbeda dengan masalah khilafah. Telah diriwayatkan bahwa para sahabat Nabi Saw biasa mengimami shalat satu sama lain di antara sesama mereka, baik ketika di Madinah maupun dalam bepergian. Seandainya alasan yang engkau kemukakan benar, maka siapa saja di antara mereka (yang pernah menjadi imam shalat berjamaah) dapat menjadi khalifah.

Selain itu, hadis yang menyebutkan bahwa Abu Bakar mengimami shalat berjamaah hanya bersumber dari putrinya saja, yaitu ‘A’isyah. Sungguh, sangat mengherankan saudara-saudara kami yang Sunni ini, mereka mengemukakan hujjah dengan dalil-dalil yang lemah tersebut, lalu mereka melupakan hadis-hadis yang diriwayatkan tentang ‘Ali as, padahal hadis-hadis tersebut merupakan dalil yang sangat kuat dan diriwayatkan dalam jumlah yang sangat banyak. Misalnya, hadis tentang peringatan Nabi Saw kepada kaum kerabatnya yang terdekat, Nabi Saw mengumpulkan kaum kerabatnya terdekat dengan perintah dari Allah, yaitu firman-Nya, “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat”(Qs. asy-Syu’ara’ [26]: 214).

Ketika itu, Nabi Saw mengundang para kerabatnya yang berjumlah sekitar empat puluh orang. Nabi Saw membuatkan makanan yang sedikit, tetapi dapat mengenyangkan keempat puluh orang undangan tersebut. Setelah perjamuan, Nabi Saw bersabda kepada mereka, Wahai Bani Hasyim, siapakah di antara kalian yang ingin membantuku dalam urusanku ini?” Namun, tak seorang pun dari mereka yang menyambut ajakan tersebut, kemudian ‘Ali as berkata, “Aku wahai Rasulullah. Aku akan membantumu (dalam urusanmu).” Nabi Saw mengulangi ajakannya itu sampai tiga kali, dan setiap kali ia menyampaikan seruan tersebut, setiap kali itu pula ‘Ali selalu menjawab, “Aku wahai Rasulullah.”

Kemudian, Nabi Saw memegang tengkuk (leher bagian belakang) ‘Ali seraya bersabda kepadanya, “Engkau adalah washi-ku dan khalifahku sepeninggalku. Maka dengarkanlah ia dan patuhilah perintahnya!“

Juga hadis Ghadir Khum yang terkenal, hadis tsaqalain, hadis manzilah (kedudukan ‘Ali di sisi Rasulullah, seperti kedudukan Harun di sisi Musa as), hadis safinah (perumpamaan Ahlulbait Rasulullah seperti bahtera Nuh. Barang siapa yang menaikinya, akan mendapatkan keselamatan; dan barang siapa yang meninggalkannya, akan karam dan binasa), hadis pintu pengampunan (seperti pintu pengampunan bagi Bani Israil. Barang siapa yang memasukinya, niscaya ia akan diampuni dosa-dosanya), hadis “Aku kota ilmu, dan ‘Ali adalah pintunya”, hadis persaudaraan (pada hari hijrah, Nabi Saw. mempersaudarakan ‘Ali dengan dirinya sendiri, sementara ia mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan kaum Anshar).

Juga hadis penyampaian Surah Barâ’ah kepada kaum musyrik Makkah, hadis penutupan semua pintu yang menuju Masjid Nabi Saw kecuali pintu rumah ‘Ali, hadis tentang pencabutan pintu gerbang Khaibar yang dilakukan oleh ‘Ali seorang diri, hadis tentang gugurnya ‘Amru bin ‘Abdu Wudd di tangan ‘Ali (dalam tanding perang Ahzab), dan dinikahkannya ia (‘Ali) oleh Rasulullah Saw dengan putri kinasihnya, Fatimah az­ Zahra’ as. Dan hadis-hadis lainnya tentang keutamaan Amirul Mukminin ‘Ali as yang jumlahnya tak terhitung, sekiranya kami hendak menuliskannya, tentu akan memenuhi berjilid-jilid besar buku.

Apakah semua riwayat yang telah disepakati kesahihannya ini tidak menetapkan khilafah (kekhalifahan) ‘Ali as, sedangkan riwayat-riwayat yang masih diperselisihkan, bahkan dipalsukan tersebut, menetapkan kekhalifahan Abu Bakar? Sungguh, hal ini adalah sesuatu yang sangat mengherankan. Akhirnya, setelah melalui diskusi yang panjang, ia merasa puas dan menerima dalil-dalil yang kami kemukakan kepadanya. Kemudian ia telah keluar dari kami dalam keadaan bimbang terhadap mazhabnya, ia mengucapkan banyak terima kasih atas dalil-dalil yang kami sampaikan kepadanya. Lalu ia meminta dariku sebagian kitab Syi’ah dan kitab-kitab karangan para ulama Syi’ah, maka aku pun memberikan sebagian darinya, di antaranya beberapa kitab karangan al-Imam al-Hujjah al-Mujahid as-Sayyid ‘Abdul Husain Syarafuddin. (Bersambung ke Bag. 2)

Tidak ada komentar: