Hujjah Akidah Islam Syi’ah (Bag. 2)


“Tulisan ini berjudul Diskusi dengan Ulama as Syafi’i, namun karena paparan yang dikemukakan oleh Syaikh Muhammad Mar’i al Amin al Antaki ternyata banyak berkenaan dengan landasan dasar Syi’ah, maka judulnya pun didaptasikan”

Oleh Syaikh Muhammad Mar’i al-Amin al-Antaki

Kami berharap kepada saudara-saudara kami yang muslim Sunni, hendaknya mereka mau menelaah kitab-kitab karangan ulama-ulama besar Syi’ah, tanpa diiringi dengan kefanatikan. Di antaranya, kitab-­kitab karangan aI-Imam al-Hujjah al-Mujahid as-Sayyid ‘Abdul Husain Syarafuddin, kitab al-Ghadir, karangan Allamah al-Amini, kitab Ihqâqul Haqq dan kitab ash-Shawârimul Muhriqah, yang keduanya merupakan karangan asy-Syahid as-Sa’id Al-Imam Qadhi Nurullah, ‘Abâqatul Anwâr, karya al-Imam as-Sayyid Hamid Husain al-Hindi, Ghayâtul Marâm, karya al-Imam al-Bahrani, As-Saqifah, karya al-‘Allamah al-Muzhaffar, Dalâ’iul Sidqi, karya al-Hujjah al-­Muzhaffar, dan Ashlusy Syi’ah wa Ushuluha, karya al-Imam Kasyiful Ghitha.

Diskusi dengan Salah Seorang Ulama Al-Azhar
Pada 7 Dzulqaidah 1371 H sebelum Zuhur, salah seorang tokoh terpandang di Kota Hilb, Ustad Sya’ban Abu Rasul, mengabarkan kepadaku bahwa salah seorang Syaikh (guru) al-Azhar, ia adalah seorang ulama besar dan penulis kenamaan, bermaksud mengunjungiku. Ustad Sya’ban Abu Rasul berkata kepadaku, “Kapan ia (syaikh al-Azhar itu) dapat berkunjung ke rumahmu?” Aku katakan kepadanya, “Ahlan wa sahlan. Sungguh, aku mendapat kehormatan dengan kunjungannya itu. Silahkan ia berkunjung kepadaku pada hari ini.” Lalu Syaikh al-Azhar itu mengunjungiku setelah shalat Asar. Setelah aku menyambut kedatangannya dan mempersilahkannya duduk, ia berkata kepadaku dengan lemah lembut, “Sesungguhnya aku sengaja mengunjungimu dengan maksud hendak menanyakan kepadamu, apa yang mendorongmu mengikuti mazhab Syi’ah dan meninggalkan mazhab Syafi’i?”

Sebagaimana ia, aku menjawab pertanyaannya dengan lemah lembut, aku katakan kepadanya, “Sebab-sebabnya banyak sekali, di antaranya: aku melihat perbedaan yang banyak di antara sesama empat mazhab. Kemudian aku mulai menyebutkan beberapa contoh perbedaan di antara empat mazhab itu. Lalu aku menyebutkan sebab-sebab yang mendorongku mengikuti mazhab Syi’ah, ‘yang paling utama; adalah masalah khilafah (kekhalifahan), yang merupakan sebab yang paling besar dan menyebabkan terjadinya perselisihan di antara sesama kaum Muslim.” Sebab, sangatlah tidak masuk akal jika Rasulullah Saw meninggalkan umatnya tanpa menunjuk seorang penggantinya, yang memerintah dengan melaksanakan syariat Allah, sebagaimana para rasul yang lain yang menunjuk seorang washiy (yang menerima wasiat untuk meneruskan kepemimpinannya, yakni menjadi khalifahnya sepeninggalnya).

Menurutku, telah terbukti secara meyakinkan bahwa kebenaran ada bersama Syi’ah. Sebab, keyakinan mereka menegaskan bahwa Nabi Saw, telah berwasiat kepada ‘Ali untuk menjadi khalifahnya sepeninggalnya (sebelum wafatnya bahkan sejak awal dakwah beliau), dan setelahnya adalah anak keturunannya, yaitu sebelas imam. Mereka (Syi’ah) ,mengambil hukum-hukum agama, mereka dari dua belas Imam Ahlulbait as, yaitu para Imam Maksum (terpelihara dari dosa dan kesalahan) di dalam akidah mereka dengan dalil-dalil yang kuat. Lantaran sebab itulah dan sebab-sebab yang lainnya,’ aku mengikuti mazhab yang mulia ini, mazhab Ahlulbait as. Selain itu, aku tidak menemukan satu pun dalil yang mewajibkan kita mengikuti salah satu dari mazhab yang empat. Sebaliknya, aku mendapatkan dalil-dalil yang sangat banyak yang mewajibkan kita mengikuti mazhab Ahlulbait yang menuntun setiap Muslim ke jalan yang lurus.”

Kemudian aku paparkan kepadanya dalil-dalil yang jelas dan tegas yang mewajibkan setiap Muslim mengikuti mazhab Ahlulbait. Semua yang hadir di rumahku saat itu, mendengarkan penjelasanku dengan seksama. Lalu aku bertanya kepada kepada Syaikh al-Azhar itu, “Wahai Syaikh yang mulia, engkau adalah seorang ulama yang terhormat. Apakah engkau mendapatkan dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw satu dalil pun yang mengarahkanmu untuk mengikuti salah satu dari empat mazhab yang empat (Hanafi, Maliki, asy-Syafi’i, dan Hanbali)?” Ia menjawab, “Sekali-kali tidak.”

Kemudian aku katakan kepadanya, “Bukankah Anda mengetahui bahwa mazhab yang empat (madzâhibul arba’ah) itu saling bertentangan satu sama lainnya dalam banyak masalah, dan dalam hal ini mereka tidak berlandaskan pada dalil yang kuat atau keterangan yang jelas dan nyata bahwa ialah yang benar, bukan yang lainnya? Orang yang terikat dengan salah satu mazhab dari empat mazhab tersebut hanyalah menyebutkan dalil-dalil yang tidak ada penopangnya. Sebab, ia tidak bersumber pada al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. Ia seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikit pun.”

Misalnya, seandainya Anda tanyakan kepada seseorang yang bermazhab Hanafi, ‘Mengapa engkau memilih mazhab Hanafi, bukan yang lainnya? Dan mengapa engkau memilih Abu Hanifah sebagai imam untuk dirimu setelah seribu tahun dari kematiannya? Niscaya orang tersebut tidak akan memberikan jawaban yang memuaskan hatimu. Demikian juga jika Anda menanyakan hal yang sama kepada seseorang yang mengikuti mazhab asy-Syafi’i, Maliki, atau Hanbali. Rahasia di balik itu adalah setiap imam dari empat mazhab tersebut bukanlah seorang nabi atau washiyy (orang yang menerima wasiat untuk meneruskan kepemimpinan nabi). Mereka tidak mendapatkan wahyu ataupun mendapatkan ilham, mereka hanya seperti ulama yang lain, dan orang yang seperti mereka amatlah banyak.

Kemudian mereka bukanlah sahabat Nabi Saw, kebanyakan mereka atau bahkan keseluruhan mereka tidak menjumpai Nabi Saw dan tidak pula menjumpai para sahabat Nabi Saw. Setiap orang dari mereka (imam mazhab yang empat) membuat mazhab untuk dirinya sendiri, ia mengikuti mazhabnya itu dan mempunyai pendapat­-pendapat tersendiri, yang boleh jadi terdapat kesalahan atau kelalaian di dalamnya. Dan setiap dari mereka mempunyai pendapat yang bermacam-macam, yang satu sama lainnya saling bertentangan. Akal sehat tidak akan dapat menerima hal itu, demikian pula hati yang bersih. Sebab, ia tidak berdasarkan pada dalil yang tegas dan kuat, yaitu al-­Qur’an dan Sunnah Nabi Saw.

Maka, orang yang berpegangan atau mengikuti salah satu dari mazhab yang empat tersebut tidak mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat kelak di hadapan Allah pada Hari Perhitungan. Sesungguhnya kepunyaan Allah-lah hujah yang jelas lagi kuat itu. Seandainya Allah menanyakan kepada orang yang mengikuti salah satu dari mazhab yang empat itu pada hari kiamat, dengan dalil apa engkau mengikuti mazhabmu ini? Tentu saja ia tidak mempunyai jawaban kecuali ucapannya, “ Dan Demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: “Sesungguhnya Kami mendapati bapak-bapak Kami menganut suatu agama dan Sesungguhnya Kami adalah pengikut jejak-jejak mereka” (Qs. Az-Zukhruf [43]:23).

Atau, ia berkata, “Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya Kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar Kami, lalu mereka menyesatkan Kami dari jalan (yang benar) (Qs. Al-Azhab [33]:67). Kemudian aku katakan kepada syaikh al-Azhar itu, “Wahai Syaikh yang mulia, apakah seseorang yang mengikuti salah satu dari mazhab yang empat itu mempunyai jawaban kelak di hadapan Allah pada hari kiamat?” Ia menundukkan kepalanya beberapa lama kemudian ia berkata, “Tidak.” Kemudian aku katakan kepadanya, “Adapun kami yang mengikuti wilâyah (kepemimpinan) al-‘itrah ath-thâhirah (keturunan yang suci), Ahlulbait Nabi Saw yang telah disucikan Allah sesuci-sucinya dari segala dosa, dan kami beribadah kepada Allah Swt dengan mengikuti fiqih al-Ja’fari, kami akan berkata kelak pada Hari Perhitungan, ketika kami berdiri di hadapan Allah Swt.”

‘Wahai Tuhan kami, sesungguhnya Engkau telah memerintahkan kami dengan hal itu karena sesungguhnya Engkau telah berfirman di dalam Kitab-Mu, Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya(Qs. Al-Hasyr [59]:7). Dan Nabi-Mu, Muhammad Saw, telah bersabda, sebagaimana yang telah disepakati kaum Muslim, “Sesungguhnya aku telah meninggalkan kepada kalian dua pusaka yang sangat berharga (ats-tsaqalain), yaitu Kitabullâh dan Itrah Ahlulbaitku; selama kalian berpegang teguh kepada keduanya, niscaya kalian tidak akan tersesat selamanya, dan sesungguhnya keduanya tidak akan berpisah sehingga menjumpaiku di al Haudh.”

Dan Nabi-Mu juga telah bersabda, “Perumpamaan Ahlul Baitku di rengah-rengah kalian seperti bahrera Nuh barang siapa menaikinya, niscaya dia akan selamat; dan barangsiapa yang tertinggal darinya, niscaya dia akan tenggelam dan binasa.” Dan tidak diragukan lagi bahwa Imam Ja’far ash-Shadiq as adalah dari al-i’trah ath-thâhirah (keturunan yang suci), yaitu Ahlulbait Nabi Saw yang telah disucikan Allah sesuci-sucinya dari segala dosa. llmunya adalah ilmu ayahnya, ilmu ayahnya adalah ilmu kakeknya, yaitu Rasulullah Saw, sedangkan ilmu Rasulullah Saw bersumber dari Allah. Selain itu, semua kaum Muslim telah sepakat akan kejujuran dan keutamaan Imam Ja’far Ash-Shiidiq as: Sesungguhnya ia (Imam Ja’far Ash-Shadiq as) adalah seorang washiyy keenam dan Imam Maksum, sesuai keyakinan segolongan besar kaum Muslim, yaitu para pengikut mazhab Ahlubait, mazhab yang hak. Dan sesungguhnya ia adalah hujah Allah atas makhluk-Nya. (Bersambung ke Bag. 3)

Tidak ada komentar: