Hujjah Akidah Islam Syi’ah (Bag. 3)



“Tulisan ini berjudul Diskusi dengan Ulama as Syafi’i, namun karena paparan yang dikemukakan oleh Syaikh Muhammad Mar’i al Amin al Antaki ternyata banyak berkenaan dengan landasan dasar Syi’ah, maka judulnya pun didaptasikan”

Oleh Syaikh Muhammad Mar’i al-Amin al-Antaki

Imam Ja’far Ash-Shadiq as meriwayatkan hadis dari ayah  dan datuknya yang suci, dan ia tidak berfatwa dengan pendapatnya sendiri. Hadisnya adalah “hadis ayahku dan datukku”. Sebab, mereka adalah sumber ilmu dan hikmah. Mazhab Imam Ja’far ash-Shadiq as adalah mazhab ayahnya, dan mazhab kakeknya bersumber dari wahyu, yang tidak akan pernah berpaling sedikit pun darinya. Bukan dari hasil ijtihad, seperti lainnya yang berijtihad. Oleh karena itu, orang yang mengikuti mazhab Ja’far bin Muhammad ash-Shadiq as dan mazhab kakek-kakeknya, berarti ia telah mengikuti mazhab yang benar dan berpegang teguh pada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Saw.

Setelah aku kemukakan dalil-dalil yang jelas dan kuat, Syaikh al-Azhar tersebut mengucapkan banyak terima kasih kepadaku dan ia pun sangat memuliakan kedudukanku. Kemudian ia menanyakan tentang pandangan Syi’ah terhadap para sahabat Rasulullah Saw. Lalu, aku jelaskan kepadanya bahwa Syi’ah tidak mencela sahabat Rasulullah Saw secara keseluruhan. Akan tetapi, Syi’ah meletakkan mereka sesuai kedudukan mereka. Sebab, di antara mereka ada yang adil dan ada pula yang tidak adil, di antara mereka ada yang pandai dan ada pula yang bodoh, dan di antara mereka ada yang baik dan ada pula yang jahat.

Bukankah Anda tahu apa yang telah mereka lakukan pada hari Saqifah? Mereka telah meninggalkan jenazah Nabi mereka dalam keadaan terbujur kaku di atas tempat tidurnya, mereka berlomba-lomba memperebutkan kekhalifahan. Setiap orang dari mereka beranggapan bahwa ialah yang berhak menjadi khalifah, seakan-akan ia adalah barang dagangan yang dapat diperoleh bagi siapa saja yang lebih dahulu mendapatkannya. Padahal mereka telah mendengar nash-nash yang tegas yang telah disampaikan oleh Nabi Saw tentang kekhalifahan ‘Ali bin Abi Thalib as, baik sejak awal dakwahnya maupun hadis Ghadir Khum yang terkenal itu.

Selain itu, mengurusi jenazah Rasulullah Saw lebih penting daripada urusan kekhalifahan. Bahkan, seandainya saja Rasulullah Saw tidak mewasiatkan seseorang untuk menjadi khalifahnya (Rasulullah Saw. secara tegas telah menunjuk ‘Ali untuk menjadi khalifahnya), maka wajib bagi mereka untuk mengurusi jenazah Rasulullah Saw terlebih dahulu. Kemudian setelah selesai mengurusi jenazah Rasulullah Saw, seyogyanya mereka menyatakan belasungkawa kepada keluarga beliau, seandainya saja mereka adalah orang-orang yang adi! Akan tetapi, dimanakah keadilan dan perasaan hati mereka, dimanakah keluhuran akhlak, dan dimanakah ketulusan dan kecintaan? Dan yang lebih menyakitkan lagi di dalam hati adalah penyerbuan mereka ke rumah belahan jiwa Rasulullah Saw, Fatimah az-Zahra as, yang dilakukan oleh sekitar lima puluh orang pria.

Mereka telah mengumpulkan kayu bakar untuk membakar rumah Fatimah dan semua orang yang di dalamnya. Sehingga ada seseorang yang berkata kepada ‘Umar, “Sesungguhnya di dalam rumah tersebut terdapat al-Hasan, al-Husain, dan Fatimah.” Akan tetapi, ‘Umar berkata, “Walaupun (di dalam rumah tersebut ada mereka).” Peristiwa ini banyak disebutkan oleh sejarawan Sunni,[3] apalagi para sejarawan Syi’ah. Semua orang tahu, baik orang yang berbakti maupun orang yang jahat, bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Fatimah adalah belahan jiwaku. Barang siapa yang menyakitinya, maka ia telah menyakitiku; barang siapa yang membuatnya murka, maka ia telah membuatku murka; barang siapa yang membuatku murka, maka ia telah membuat Allah murka; dan barang siapa membuat Allah murka, maka Allah akan menyungkurkan kedua lubang hidungnya ke dalam neraka.

Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada para sahabat Nabi Saw secara jelas menunjukkan bahwa tidak semua sahabat itu adil. Silakan Anda merujuk ke Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh al-Muslim tentang hadis Haudh, niscaya Anda akan mendapatkan kebenaran pendapat Syi’ah tentang penilaian mereka terhadap para sahabat Nabi Saw. Jika demikian adanya, maka dosa apakah bagi mereka (Syi’ah) jika mereka berpendapat bahwa banyak di antara sahabat Nabi Saw yang tidak adil, sedangkan banyak dari mereka sendiri (para sahabat Nabi Saw.) yang menunjukkan jati diri mereka sendiri. Perang Jamal dan Perang Shiffin adalah dalil dan bukti yang paling jelas terhadap kebenaran pendapat mereka (Syi’ah). Dan al-Qur’an telah menyingkapkan banyak keburukan perbuatan di antara mereka (para sahabat Nabi Saw).

Bukankah Anda juga tahu apa yang telah dilakukan oleh Mu’awiyah, ‘Amru bin ‘Ash, Marwan bin Hakam, Ziyad dan anaknya, Mughirah bin Syu’bah, ‘Umar bin Sa’ad bin Abi Waqqash, Thalhah dan Zubair, yang keduanya telah memberikan baiat kepada Amirul Mukminin ‘Ali as, tetapi keduanya kemudian melanggar bai’atnya dan memerangi Imam mereka (‘Ali bin Abi Thalib as) bersama ‘A’isyah di Basrah, yang sebelumnya mereka telah melakukan kejahatan-kejahatan di kota tersebut (Basrah) yang tidak pantas dilakukan oleh seseorang yang mempunyai jiwa satria. Selain itu, selama keberadaan Nabi Saw di tengah-tengah mereka (para sahabat beliau), banyak di antara mereka yang melakukan perbuatan nifâk (munafik), apakah kemudian setelah Nabi Saw menemui Tuhannya (wafat), mereka lantas menjadi adil semuanya?

Kita sama sekali tidak pernah mendengar bahwa ada salah seorang nabi di antara nabi-nabi yang diutus kepada ummatnya, lalu semua umatnya menjadi adil. Bahkan, yang terjadi adalah sebaliknya. Al-Qur’an dan Sunnah telah menjelaskan kepada kita tentang hal itu. Kemudian aku katakan kepada, Syaikh al-Azhar itu, “Bagaimana menurutmu wahai saudaraku yang mulia?” Ia menjawab, “Sungguh, apa yang telah engkau sampaikan telah memuaskanku, semoga Allah membalas kebaikanmu dengan balasan yang sebaik-baiknya.”

Kemudian setelah terjadi diskusi yang panjang antara aku dengan syaikh al-Azhar itu, ia berkata, “Apakah engkau mengetahui bahwa engkau telah memasukkan keraguan di dalam hatiku perihal empat mazhab, dan aku juga telah condong pada mazhab Ahlulbait. Akan tetapi, aku ingin engkau membekaliku dengan sebagian kitab Syi’ah.” Kemudian, aku pun menghadiahkan kepadanya beberapa kitab Syi’ah, di antaranya: kitab karangan al-Imam Syarafuddin Dalâ’ilush Shidqi, dan al-Ghadir karya Allamah Amini. Di samping itu, aku juga menunjukkan kepadanya beberapa kitab Syi’ah yang lainnya.

Kemudian ia mohon diri meninggalkan rumahku sembari mengucapkan pujian dan terima kasih kepadaku, lalu ia pun pulang ke Mesir dalam keadaan ragu tentang akidah yang dianutnya selama ini. Kemudian setelah beberapa hari, datanglah surat kepadaku dari syaikh al-Azhar itu. Di antara isi surat tersebut, ia mengabarkan kepadaku bahwa dia telah menganut mazhab Ahlulbait dan menjadi seorang Syi’ah. Ia berjanji kepadaku untuk menulis buku tentang kebenaran Mazhab Ahlulbait.

Penutup
Sesungguhnya apa yang telah kami persembahkan kepada para pembaca adalah bersumber dari  al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi Saw, yang diriwayatkan dalam hadis sahih dalam kitab-kitab sahih Sunni, dan merupakan bukti yang kuat terhadap kekhalifahan Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib sepeninggal Rasulullah Saw secara langsung (bilâ fashl), sekiranya orang yang menentang kami berlaku adil. Perhatikanlah dengan seksama dan sungguh-sungguh terhadap semua yang telah kami sebutkan dalam buku ini, yaitu hujjah dan keterangan yang jelas, dengan begitu niscaya akan tersingkap kebenaran yang hakiki bagi Anda dan akan memudahkan jalan bagi siapa saja yang hendak menempuh jalan kebenaran. Yaitu, orang-orang yang mengikhlaskan niatnya dan menjauhkan dirinya dari fanatisme mazhab yang membutakan hati dan pikiran sehat dan membinasakan.

Orang yang bersikeras dalam fanatismenya, tidak akan berguna riwayat, walaupun jumlahnya sangat banyak dan telah dikemukakan baginya seribu dalil. Adapun orang yang mempunyai pikiran yang jernih dan akal yang cerdas, maka yang telah kami persembahkan, dalil-dalil al-Qur’an dan Sunnah, telah memadai baginya karena dalil-dalil tersebut adalah riwayat-riwayat yang sahih yang telah disepakati kebenarannya, baik di kalangan Sunni maupun Syi’ah. Selain itu, orang yang bersikeras di dalam kefanatikannya, bahkan seandainya Nabi Saw sendiri yang datang kepadanya dan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya dia tetap akan berada di dalam sikap keras kepalanya. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh   salah seorang di antara mereka, yang keras kepala, kepada saudaraku “Seandainya Jibril turun, dan ikut bersamanya Muhammad dan ‘Ali, aku tetap tidak akan membenarkan ucapanmu.”

Hal itu terjadi ketika saudaraku mengajaknya berdialog, dan saudaraku telah memberikan kepadanya kitab al-Murâja’ât (Dialog Sunni-Syi’ah) agar ia melihat (membaca) apa yang ada di dalamnya. Kitab tersebut ada pada orang itu lebih dari sebulan lamanya, lalu dia mengembalikan kitab itu kepada saudaraku seraya berkata, “Sesungguhnya aku tidak suka membaca kitab-kitab Syi’ah. Oleh karena itu, aku sama sekali tidak membaca kitab ini (al-Murâja ‘ât) selamanya.” Sesungguhnya buku yang hadir di hadapan Anda ini, insya Allah, akan tersebar luas di segenap penjuru dunia, yang akan dibaca oleh orang-orang Arab dan ‘ajam (non-Arab), Muslim dan non-Muslim.

Sesungguhnya manusia itu bermacam-macam. Dan merupakan hal yang sulit mendapatkan kerelaan seluruh manusia, bahkan itu merupakan suatu hal yang mustahil diraih. Semoga Allah Swt. mencurahkan rahmat-Nya kepada ‘Ali al-Kailani, seorang pujangga berkebangsaan Palestina yang berkata, Jika Tuhannya makhluk tidak meridhai makhluk-Nya, Maka bagaimana mungkin makhluk dapat diharapkan keridhaannya.

Singkat kata, sesungguhnya buku ini akan dibaca oleh banyak pembaca, di antara mereka pasti ada yang akan memuji, dan di antara mereka juga akan ada yang mengkritik, bahkan mengecamnya. Saya berharap dari pembaca yang budiman untuk tidak terburu­-buru memberikan penilaian sebelum membaca sampai akhir buku. Setelah itu, ia dapat memberikan penilaiannya yang bijak, baik menerima maupun menolak.

Akan tetapi, aku tidak menduga bahwa orang yang berpikir positif dan bijak akan menolak dalil-dalil yang telah kami kemukakan karena ia bersumber dari kitab-kitab sandaran mereka sendiri, Ahlus Sunnah wal Jamaah. Oleh karena itu, jika dia tidak menerima dalil-dalil tersebut, maka hendaklah ia menyalahkan mereka, bukan kami, karena kami hanya menyampaikan apa yang bersumber dari mereka.

Akhir kalam, aku mengucapkan terima kasih kepada orang-orang (para ulama) yang telah menyebabkan kami memperoleh petunjuk dengan mengikuti mazhab yang benar, yaitu mazhab Ahlulbait. Khususnya kepada dua orang imam besar, dua tokoh terkemuka mazhab Ahlulbait dan marji’ yang terbesar, yaitu Ayatullah al-‘Uzhma al-Imam al-Mujahid as-Sayyid Agha Husain ath-Thabathaba’i al-­Buroujerdi, dan Ayatullah a;-‘Uzhma al-Imam al-Mujahid as-Sayyid ‘Abdul Husain Syarafuddin. Semoga Allah Swt membalas kebaikan kedua tokoh besar mazhab Ahlulbait ini atas jasa-jasanya terhadap Islam dan kaum Muslim, dan khususnya kepada penulis, dengan balasan yang sebaik-baiknya.

Saya selesai menuliskan naskah ini pada 29 Dzul Hijjah al-­Haram 1380 H, di Kota Hilb, dalam perpustakaanku, tempat aku mengajar dan menulis buku. Segala puji bagi Allah Yang Awal dan Yang Akhir Yang Lahir dan Yang Batin.

Catatan:
[1] . Allah membukakan hatinya untuk menerima dan mengikuti mazhab yang benar yaitu mazhab Ahlulbait al-Ja’fari.
[2] . Silahkan Anda rujuk pada bagian ketiga dari buku ini.
[3] .  Lihat al-Imâmah was Siyâsah. Ar-Riyadhun Nadhrah, Murujudz Dzahab, Ansâbul Asyrâf, al-Imâm ‘Ali, karya ‘Abdul Fattah ‘Abdul Maqshud, Syarh Nahjul Balâghah, karya Ibn Abil Hadid, dan kitab-­kitab lainnya yang ditulis oleh para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah. Anda akan mendapatkan bahwa mereka menyebutkan peristiwa yang menyedihkan dan memilukan hati ini. Adapun Syi’ah, para sejarawan mereka telah menyebutkan peristiwa yang menyakitkan hati ini berikut nama-nama mereka yang melakukan tindakan kejahatan ini. Mereka menyatakan bahwa perirstiwa penyerbuan ke rumah Fatimah As tersebut dipimpin oleh ‘Umar “seorang pahlawan yang gagah berani” tetapi gagah berani bukan di medan perang.

Tidak ada komentar: