Imamah Menurut Al-Qur’an (Bag. 2)




Oleh Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari

Apa Kata Ahli Irfan
Ada beberapa ayat lain yang artinya baru dapat diketahui setelah melalui pemikiran yang mendalam. Itulah sebabnya ahli-ahli irfan* mengatakan bahwa masalah imamah dan wilayah merupakan sisi dalam dari hukum Islam. Itulah juga yang dipercaya kaum Syi’ah. Karena itu ahli-ahli irfan sangat bagus pengungkapannya mengenai konsepsi ini. Untuk memahami masalah Imamah, perlu masuk ke intinya, karena pada dasarnya masalah imamah membutuhkan pemikiran yang mendalam. Hanya orang-orang yang memiliki kualitas ini sajalah yang dapat memahami dengan baik masalah ini. Mereka mengajak orang untuk juga masuk ke inti masalah ini. Ada yang menanggapi, dan ada pula yang tidak. Sekarang kita lihat ayat lain, agar logika argumen kaum Syi’ah bisa dipahami sepenuhnya.

Konsep Imamah
Dalam Al-Qur'an ada sebuah ayat yang termasuk dalam rangkaian ayat yang tengah kita bahas. Ayat luar biasa ini tidak berkaitan dengan pribadi Imam Ali as, namun membicarakan doktrin imamah dalam arti yang sudah kami jelaskan, dan sekarang akan kami jelaskan dengan singkat. Seperti sudah kami katakan, kekeliruan lama teolog-teolog ilmiah Muslim adalah membahas masalah imamah dengan cara seakan-akan konsepsi imamah kaum Syi’ah maupun kaum Sunni sama –namun hanya saja perbedaan kedua kaum ini soal kondisinya saja. Kaum Syiah mengatakan bahwa imam haruslah maksum dan diangkat melalui keputusan Allah SWT, sedangkan kaum Sunni tidak mengakui sudut pandang itu. Fakta aktualnya adalah bahwa kaum Sunni sama sekali tidak mempercayai konsepsi imamah yang diyakini kaum Syi’ah.

Imamah yang diyakini kaum Sunni hanyalah aspek duniawi dan salah satu fungsi dari imamah yang sesungguhnya. Mengenai kenabian, kita juga melihat bahwa Nabi saw adalah pemimpin umat Muslim, namun kepemimpinan ini atau kedudukannya sebagai pemimpin negara hanyalah salah satu fungsinya sebagai seorang Nabi. Kepemimpinannya tidak berarti bahwa kenabian dan kepemimpinan sinonim. Kenabian adalah sebuah realitas yang begitu banyak sisinya. Salah satu sifat khas seorang nabi adalah kalau ada nabi maka siapa pun selain nabi tak dapat menjadi penguasa atau pemimpin umat Muslim. Kaum Sunni mengatakan bahwa imamah berarti tak lebih dari administrasi pemerintahan dan bahwa imam adalah kepala administrasi ini atau penguasa kaum Muslim. Dia dipilih oleh kaum Muslim dari kalangan mereka sendiri. Konsep Sunni tentang imam tak lebih dari status kepala negara Muslim. Namun menurut Syiah, imamah adalah sebuah posisi yang sama dengan kenabian, dan dalam beberapa hal bahkan lebih tinggi daripada Kenabian. Para nabi papan atas, mereka itu juga imam. Banyak nabi yang sama sekali bukan imam. Bahkan para nabi papan atas mendapat tugas imamah jauh setelah mereka jadi nabi.

Pendek kata, kalau kita mengakui bahwa imamah adalah seperti kenabian, maka kita juga harus akui bahwa karena adanya seorang nabi yang memiliki aspek manusia super maka tak ada masalah siapa yang jadi penguasa, adanya seorang imam maka tak ada masalah siapa yang jadi penguasa. Masalah ini baru muncul ketika tak ada imam, entah karena imam sama sekali tak ada atau karena imam tengah gaib seperti yang tengah terjadi di zaman kita ini. Kita tak boleh mencampuradukkan masalah imamah dengan masalah pemerintahan dan kemudian bertanya apa kata kaum Sunni dalam hal ini dan bagaimana pandangan Syi’ah. Sesungguhnya masalah pemerintahan beda dengan masalah imamah. Menurut kaum Syi’ah, imamah merupakan sebuah fenomena yang persis seperti fenomena kenabian, dan itu juga seperti derajat tertingginya. Maka dari itu kaum Syi’ah mempercayai imamah, sedangkan kaum Sunni tidak. Menurut kaum Sunni, syarat yang diperlukan bagi seorang imam beda.

Imam dalam Keturunan Nabi Ibrahim as
Ayat yang sekarang ingin kami kutip dengan jelas menunjukkan konsep imamah yang diyakini kaum Syi’ah. Kaum Syi’ah berpendapat ayat ini menunjukkan bahwa ada sebuah kebenaran yang disebut imamah, dan bahwa adanya bukan saja selama periode setelah wafatnya Nabi saw namun juga sejak datangnya para nabi dan akan terus eksis dalam keturunan Nabi Ibrahim as sampai akhir zaman. Al-Qur'an mengatakan: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu Imam bagi seluruh manusia." Ibrahim berkata: "(Dan aku mohon juga) dari keturunanku. "Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orangyang zalim" (QS. al-Baqarah: 124).

Ujian Nabi Ibrahim as—Perintah untuk Hijrah ke Hijaz
Al-Qur'an sendiri menyebutkan sejumlah ujian yang harus dihadapi Nabi Ibrahim as. Ujian itu antara lain berupa perjuangan Nabi Ibrahim as melawan Namrud beserta pengikut-pengikutnya, sehingga Ibrahim as sampai dibakar dan mengalami beberapa peristiwa lainnya. Salah satu peristiwa ini adalah Ibrahim as menerima perintah yang tak dapat dilaksanakan oleh siapa pun yang belum sepenuhnya menaati Allah SWT. Ibrahim as belum memiliki anak. Untuk pertama kalinya istrinya, Hajar, melahirkan seorang anak pada usia tujuh puluh delapan tahun. Nabi Ibrahim as menerima perintah Allah SWT untuk pergi dari Syria ke Hijaz, membawa istri dan anaknya ke tempat yang sekarang menjadi lokasi Masjidil Haram. Perintah ini tidak sesuai dengan logika apa pun kecuali logika kepatuhan diri yang total. Karena yakin bahwa itu adalah perintah Allah SWT yang diterimanya melalui wahyu, Ibrahim as menjalankan perintah itu. Ibrahim as berkata: Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami, (yang demikian itu) agar mereka menegakkan salat (QS. Ibrahim: 37).

Perintah Menyembelih Putranya
Yang lebih mengherankan daripada peristiwa-peristiwa ini adalah kisah tentang Nabi Ibrahim as menyembelih putranya di Mina. Untuk selalu mengenang kepatuhan diri yang luar biasa ini, maka kita sekarang berkorban kambing (karena kita melaksanakan perintah Allah SWT, maka dalam hubungan ini tak ada pertanyaan kenapa dan untuk apa). Setelah dua atau tiga kali bermimpi seakan-akan sedang mengorbankan putranya, Ibrahim as yakin bahwa itu adalah perintah Allah SWT kepadanya untuk melakukan yang demikian. Ibrahim as menuturkan hal ini kepada putranya. Putranya setuju dan mengatakan, "Ayah, lakukan apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah akan engkau dapati aku setia dan tabah." Al-Qur'an menggambarkan peristiwa yang luar biasa ini. Keduanya sudah pasrah taat (kepada Allah SWT) dan dia sudah siap menyembelih putranya (pada akhirnya ketika Ibrahim as mutlak yakin mau menyembelih putranya, dan sang putra, Ismail, sudah tak ragu lagi bahwa kepalanya akan disembelih): Dan Kami panggillah dia: "Wahai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah melaksanakan mimpi itu" (QS. ash-Shâffât: 104-105).

Yang dikatakan Allah SWT adalah bahwa Allah SWT sesungguh­nya tidak menghendaki kepala Ismail as dipotong. Allah SWT hanya ingin melihat kepatuhan total Ibrahim dan Ismail kepada kehendak-Nya, dan ternyata keduanya memang sangat patuh. Al-Qur'an dengan jelas mengatakan bahwa Allah SWT mengaruniakan seorang putra kepada Nabi Ibrahim as ketika usianya sudah lanjut. Dikatakan ketika para malaikat mendatanginya dan mengatakan bahwa dia akan dianugerahi seorang putra oleh Allah SWT, istrinya berkata: Sungguh mengherankan, apakah aku akan melahirkan anak padahal aku seorang perempuan tua dan suamiku pun sudah tua pula? Para malaikat itu berkata: "Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan berkah-Nya dicurahkan atas kamu, wahai Ahlutbait" (QS. Hûd: 72-73).

Menurut ayat ini, Allah SWT menganugerahkan seorang putra kepada Ibrahim as ketika Ibrahim as sudah tua. Ketika masih muda, Ibrahim as belum dikaruniai anak. Ketika mendapat anak, Ibrahim as sudah jadi Nabi. Dalam Al-Qur'an banyak ayat tentang Ibrahim as. Ayat-ayat itu menunjukkan bahwa Ibrahim as mendapat anak ketika berusia tujuh puluh atau delapan puluh tahun. Ishaq as dan Ismail as tumbuh besar. Ismail as menjadi dewasa dan membantu ayahnya membangun Ka'bah. Al-Qur'an mengatakan: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa perintah, lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berftrman: "Sesungguh­nya Aku akan menjadikanmu seorang Imam bagi umat manusia." Ibrahim berkata: "(Dan aku mohon juga) dari keturunanku. " Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim" (QS. al-Baqarah: 124).

Apakah ayat-ayat ini berkenaan dengan masa muda Ibrahim as? Tak dapat dipungkiri, ayat-ayat ini berbicara tentang ketika Ibrahim as sudah menjadi Nabi, karena ayat-ayat ini berbicara tentang wahyu. Ayat-ayat ini berkenaan dengan masa tua Ibrahim as, karena ayat-ayat ini berbicara mengenai ujian demi ujian yang dilalui Nabi Ibrahim as. Ujian demi ujian ini terjadi di sepanjang hayat Ibrahim as. Ujian yang paling penting terjadi ketika Ibrahim as sudah lanjut usia. Dalam ayat-ayat ini disebut-sebut keturunan Ibrahim as. Itu menunjukkan bahwa ketika percakapan ini berlangsung, Ibrahim as setidak-tidaknya sudah memiliki seorang anak.

Sesungguhnya, menurut ayat ini, Ibrahim as diangkat menjadi Imam menjelang akhir hayatnya. Ayat ini mengatakan bahwa Aku telah menjadikan engkau Imam bagi umat manusia. Jadi Ibrahim as diberi tugas baru. Itu menunjukkan bahwa Ibrahim as sudah menjadi Nabi dan Rasul Allah. Namun masih ada satu tahap yang sampai saat itu belum dicapainya. Tahap itu baru dicapainya setelah sukses melewati semua ujian. Bukankah itu menunjukkan bahwa, menurut Al-Qur'an, ada satu lagi realitas yang namanya adalah imamah? Sekarang apa artinya?

Imamah Adalah Perjanjian Ilahi
Arti imamah adalah tahap menjadi manusia sempurna dan pemimpin sempurna. Ketika Ibrahim as diangkat menjadi Imam, dia lantas memikirkan keturunannya. Ibrahim as berkata, "Bagai-mana dengan keturunanku?" Allah SWT menjawab, "Perjanjian-Ku tidak mengenai orang yang zalim." Di sini imamah digambarkan sebagai perjanjian Allah SWT. Itulah sebabnya kaum Syi’ah mengata­kan bahwa imamah yang diyakini kaum Syi’ah adalah ilahiah sifatnya. Al-Qur'an juga menggambarkan imamah sebagai "Perjanjian-Ku." Imamah adalah perjanjian Allah SWT, bukan perjanjian manusia. Kalau kita mempertimbangkan fakta bahwa imamah beda dengan perwalian komunitas Muslim, maka kita tak akan heran bahwa imamah adalah tugas atau misi ilahiah.

Orang bertanya siapa yang membentuk pemerintahan, Allah SWT atau manusia? Kami katakan bahwa soal pemerintahan beda dengan soal imamah. Allah SWT berfirman kepada Ibrahim as, "Imamah adalah perjanjian-Ku, dan imamah tidak akan mengenai orang yang zalim di antara keturunanmu. Menjawab pertanyaan Ibrahim as, Allah SWT tidak mengatakan "Tidak" dan juga tidak mengatakan "Ya" kepadanya. Allah tidak memasukkan orang yang zalim dalam ruang lingkup imamah. Karena itu, yang masuk dalam ruang lingkup imamah adalah keturunan Ibrahim as yang tidak zalim. Ayat ini menunjukkan bahwa imamah akan selalu ada di antara mereka. Dalam hal ini ada satu ayat lagi: Dan (Ibrahim) membuat sebuah kalimat jadi kekal pada keturunannya (QS. az-Zukhruf: 28).

Siapakah Orang yang Zalim?
Sekarang pertanyaannya adalah apa yang dimaksud dengan orang yang zalim. Para imam mendasarkan argumen-argumen mereka pada digunakannya istilah ini dalam ayat ini. Dari sudut pandang Al-Qur'an, setiap orang yang tidak adil kepada dirinya sendiri atau orang lain, maka dia itu orang yang zalim. Dalam bahasa biasa, orang yang zalim adalah orang yang melanggar hak orang lain. Namun menurut terminologi Al-Qur'an, orang yang tidak adil terhadap dirinya sendiri juga adalah orang yang zalim. Banyak ayat Al-Qur'an yang menyebutkan bahwa orang yang melakukan pelanggaran atas dirinya sendiri disebut orang yang zalim.

Dalam kaitannya dengan pertanyaan Nabi Ibrahim as tentang keturunannya, 'Allamah Thabathaba'i mengutip salah seorang gurunya yang mengatakan bahwa keturunan Nabi Ibrahim as, dari sudut pandang baik atau buruk, dapat dibagi menjadi empat golongan: (1) yang sepanjang hayatnya zalim; (2) yang pada awal-nya zalim, namun kemudian saleh; (3) yang pada awalnya saleh namun kemudian jadi zalim; dan (4) yang tidak pernah zalim.

Nabi Ibrahim as sepenuhnya menyadari pentingnya jabatan tinggi imamah yang dikaruniakan kepadanya setelah dia lama menjadi Nabi. Dengan demikian mustahil kalau Ibrahim as meminta posisi ini bagi keturunannya yang sepanjang hayatnya zalim atau yang pada awalnya baik namun kemudian jadi zalim. Nabi Ibrahim as tentu minta posisi ini hanya bagi keturunannya yang baik. Karena itu keturunannya yang baik adalah yang sepanjang hayatnya baik dan yang tidak baik pada awalnya namun di kemudian hari jadi baik. Tentu saja Ibrahim as tak akan minta posisi ini bagi keturunannya yang tidak termasuk dalam dua golongan ini. Sekarang kita lihat apa kata Al-Qur'an, "Perjanjian-Ku tidak mengenai orang-orang yang zalim," Jelaslah pertanyaan Ibrahim as tidak mencakup keturunannya yang zalim sepanjang hayatnya atau yang baik pada awalnya namun di kemudian hari jadi zalim. Karena itu apa yang dikatakan Al-Qur'an- sama saja dengan perkataan bahwa keturunan Ibrahim as yang pernah tercela tidak akan mengemban imamah. Berdasarkan inilah kaum Syi’ah berargumen bahwa keturunan Ibrahim as yang pernah jadi orang musyrik pada waktu kapan pun, tidak tepat untuk mengemban imamah.

Catatan:
[1] Dia sangat dihormati oleh kaum Syi’ah dan dianggap sebagai istri Nabi yang sangat terkenal setelah Khadijah. Dia juga sangat dihormati oleh kaum Sunni. Menurut mereka, kedudukannya nomor tiga setelah Khadijah dan Aisyah.
[2] Imam Ali as, menurut riwayat, berkata demikian. (Safinah al-Bihâr, Jil. 2)






Tidak ada komentar: