Dongeng Negeri Telaga Kahana (Bab Ketiga)




Hak cipta ©Sulaiman Djaya

Di kota Damas itu, sementara pasukan Siis tengah dalam perjalanan mereka menuju negeri Suryan, Ilias dan Jenderal Reham mendapatkan informasi yang sangat berharga dari salah-seorang intelijen negeri Suryan bahwa pasukan Siis pimpinan Rakab itu juga disokong oleh Dagoner dari negeri Turik.

Berdasarkan laporan intelijen yang memberikan informasi kepada Ilias dan Jenderal Reham itu, Dagoner dari negeri Turik mendukung pasukan Siis karena ‘disuap’ oleh negeri Amarik dengan bayaran yang cukup besar dan menggiurkan, juga mendapatkan kompensasi dari negeri Najdan, dan negeri Asrail, sehingga markas pelatihan pasukan Siis cadangan telah disiapkan di negeri Turik. Selain itu, Dagoner juga memiliki kepentingan untuk memerangi bangsa Rudik ketika ia mendukung pasukan Siis pimpinan Rakab yang bengis dan keji itu. Sebab, bangsa Rudik memang dikenal ‘bermusuhan’ secara politik dengan bangsa Turik untuk yang terbilang lama hingga saat ini.

Ketika mengetahui hal tersebut, Ilias pun mengirimkan utusan khusus untuk menyampaikan informasi penting itu ke negeri Farsa, ke Jenderal Roshtam agar dikirim pasukan khusus tambahan sebagai tindakan preventif alias jaga-jaga demi sekali kemungkinan yang bisa saja terjadi tanpa terduga, setelah Ilias mendapatkan persetujuan dari semua yang hadir dalam rapat rahasia di kota Damas di negeri Suryan itu.

Rapat rahasia dan terbatas di kota Damas itu pun berhasil memutuskan untuk mencegat dan memberi kejutan demi menyambut kedatangan pasukan Siis pimpinan Rakab, yang setiap pasukannya langsung dipimpin Jenderal Ilias dan Jenderal Reham sendiri. Sementara divisi-divisi yang lain, yang bukan merupakan dua pasukan utama yang mereka bentuk berdasarkan strategi yang mereka godok dalam rapat rahasia itu, dipimpin masing-masing oleh empat orang kepercayaan Jenderal Reham dan dua orang kepercayaan Jenderal Ilias.

Tanpa sepengetahuan Ilias, informasi yang ia kirim melalui seorang utusan ke Negeri Farsa itu disampaikan juga kepada dua adiknya, Hagar dan Sophia, ketika informasi itu telah sampai kepada Jenderal Roshtam. Tentu saja, setelah mengetahui informasi dari Jenderal Roshtam tersebut, mereka memutuskan untuk memberitahu Misyaila dengan kembali mengirim burung Hudan kesayangan mereka agar menyampaikan pesan dari mereka.

Di kota Damas di negeri Suryan itu, Jenderal Ilias dan Jenderal Reham menyepakati bahwa mereka terlebih dahulu mengirim empat battalion pasukan untuk mencegat secara tak terduga alias memberi kejutan yang akan menyakitkan pasukan Siis pimpinan Rakab. Empat battalion itu masing-masing dikirim di perbatasan kota Alepp dan Kota Hama, satu battalion yang lebih besar di kirim ke kota Ramad, satu battalion menengah di kirim ke kota Palma, dan satu battalion lagi di kirim ke kota Daraa, sebelum pada akhirnya serangan yang jauh lebih keras dan mematikan akan dilakukan oleh Ilias dan Jenderal Reham sendiri.

Salah-satu strategi pengiriman battalion itu dengan cara diam-diam, dan mereka telah dibekali untuk membuat sekian jebakan dan perangkap untuk menyambut kedatangan pasukan Siis pimpinan Rakab yang kini mendapat dukungan juga dari Dagoner, seorang penguasa negeri Turik yang terkenal bermusuhan dengan bangsa Rudik itu. Sementara Jenderal Ilias dan Jenderal Reham sendiri masing-masing mengirim pasukan khusus rahasia untuk membuat kekacauan di kota Nakara di negeri Turik dan di kota Rajna di negeri Najdan. Sedangkan masing-masing mereka telah menyiapkan diri dengan pasukan khusus masing-masing dalam rangka menggempur pasukan Siis dari udara bila pasukan Siis itu telah sampai di beberapa kota di negeri Suryan.

Di tempat lain, di negeri Farsa di kota Naheret, Hagar dan Sophia telah mengirim si burung Hudan untuk kembali memberikan atau menyampaikan kabar kepada Misyaila tentang situasi dunia yang akan terjadi. Dengan patuh dan tanpa ragu, si burung Hudan itu segera melesat cepat menuju ke sebuah negeri di mana Misyaila tinggal dan berada, ke negeri yang jalur dan arahnya kini telah ia hapal dengan sangat baik melalui perjalanan intuitif dan telepatik sebelumnya.

Di sisi lain, pasukan Siis yang kini jumlahnya lebih besar dan lebih banyak telah berhasil mendarat di negeri Suryan tanpa perlawanan yang berarti sama-sekali, yang tentu saja hal itu di luar dugaan mereka yang mengira akan mendapatkan perlawanan dalam pendaratan mereka, yang memang hal itu ‘disengaja’ oleh Jenderal Ilias dan Jenderal Reham sendiri untuk melawan dan menghajar mereka di darat, karena mereka jauh lebih paham dan lebih mengenal negeri mereka sendiri ketimbang pasukan Siis, dan karena itu, melancarkan serangan di darat jauh lebih baik bagi mereka dan pasukan-pasukan mereka ketimbang melakukannya di laut, di mana peperangan di laut akan membutuhkan banyak kendaraan amfibi dan atau kapal-kapal laut, sementara negeri Suryan sendiri dapat dibilang tidak memiliki peralatan lengkap yang dibutuhkan untuk melancarkan serangan di laut.

Dengan semangat yang gegap-gempita, menggebu, dan persenjataan lengkap, pasukan Siis itu turun dari kapal raksasa yang mengangkut mereka. Barisan pasukan Siis pimpinan Rakab itu tampak besar dan begitu banyak dengan pakaian khas mereka dan rambut mereka yang seperti mirip rambut gimbal, sebuah pasukan yang tak ragu lagi, akan dapat menguasai negeri Suryan dengan mudah dengan jumlah dan kekuatan mereka serta lengkapnya persenjataan mereka, bila tak ada perlawanan yang gigih dan sebanding dari pihak lawan-lawan mereka.

Persis setelah Misyaila mendapatkan kabar dari si burung Hudan yang datang kepadanya atas keinginan Hagar dan Sophia itu, Misyaila pun memutuskan untuk terlebih dahulu menuju ke Negeri Telaga Kahana, sebelum memenuhi permintaan Hagar dan Sophia.

Keputusan Misyaila itu tak lain dan tak bukan karena ia telah lama menahan kerinduan untuk bersua dengan Siswi Karina dan Zipora, terutama Zipora yang meski tak mengungkapkan kesedihannya, Misyaila tahu bahwa ada benih-benih duka dalam hati Zipora setelah ia berpisah dengan ketiga anak kesayangannya: Ilias, Hagar, dan Sophia. Untung saja, benih-benih luka itu sedikit terobati dengan kehadiran Siswi Karina, sehingga ia tak menjadi lapuk karena kesepian yang harus ia tanggung.

Dengan kereta kuda ajaib super cepat kesayangannya itu, Misyaila pun melesat menerbangkan kereta kudanya bersama-sama dengan terbangnya si burung Hudan, meski mereka harus berpisah pada separuh jalan, karena si burung Hudan harus memberi laporan kepada Hagar dan Sophia, setelah ia melaksanakan tugas yang diembankan kepadanya.

Saat mereka berangkat bersama-sama itu, pagi baru saja terbangun, sementara benih-benih embun masih tampak melekat di milyaran daun-daun yang sunyi dan tampak masih tertunduk dengan santun. Tentu saja cuaca masih terasa dingin bagi si burung Hudan, namun tak begitu dingin bagi Misyaila yang mengenakan pakaian bulu yang cukup tebal.

Dan di hari itu ada yang berbeda bagi si burung Hudan, sebab kini ia telah memiliki sedikit tambahan kesaktian, setelah Misyaila menyentuhkan tangan ajaibnya ke tubuh si burung Hudan, sehingga ia tak lagi akan merasakan kelelahan meski terbang dalam jarak yang sangat jauh, sejauh apa pun perjalanan yang ia tempuh sebagai si burung yang bekerja sebagai penyampai pesan dan berita.

Jauh sebelum siang menjadi genap, alias ketika hari berada di antara batas pagihari dan sianghari, mereka pun telah sampai ke tempat tujuan mereka masing-masing: Misyaila telah sampai di Negeri Telaga Kahana dan si burung Hudan telah sampai di kota Naheret di negeri Farsa.

Di negeri Telaga Kahana itu, Zipora cukup merasa terkejut dengan kehadiran Misyaila. “Aku tak menyangka kau akan datang tanpa kuduga,” ujar Zipora. “Berterimakasih-lah kepada anak-anakmu, Zipora!” balas Misyaila, “Sebab kedatanganku ini sangat berkaitan dengan kabar yang disampaikan kedua putri kesayanganmu, Hagar dan Sophia, di negeri Farsa.” “Berkaitan dengan apa itu?” Tanya Zipora. “Putra kesayanganmu, Ilias, kini telah menjadi seorang jenderal, dan saat ini ia tengah mendapatkan tugas dari negeri Farsa untuk membantu negeri Suryan dari gempuran para penjajah yang berusaha menaklukkan negeri tersebut.”

Ada rasa bangga sekaligus rasa khawatir dalam hati Zipora ketika mendengar tentang kabar putra kesayangannya tersebut. Bagaimana pun bagi Zipora, Ilias adalah harapan terakhir yang akan menjadi pemimpin di keluarganya sekaligus meneruskan kepemimpinan almarhum suaminya di Negeri Telaga Kahana, sebagaimana juga yang diharapkan oleh warga alias para penduduk Negeri Telaga Kahana yang memiliki kekayaan Kristal yang diinginkan bangsa Amarik itu.

“Ilias terlalu cepat dewasa,” kata Zipora. “Tak usah kau khawatirkan Ilias, Zipora!” sergah Misyaila, “percayalah, setelah ia dididik cukup lama di Negeri Farsa, ia akan mampu menjaga dan mengurus dirinya sendiri, dan kelak ia akan dapat diandalkan untuk meneruskan tugas almarhum suami tercintamu!”. “Kekhawatiranku cukup beralasan, Misyaila!” balas Zipora, “ia adalah satu-satunya putraku dan satu-satunya yang menjadi harapanku agar ia benar-benar mau pulang ke negerinya sendiri untuk meneruskan tugas almarhum suamiku!”. “Sudahlah, jangan kau bebani dirimu dengan segala kekhawatiranmu, lebih baik kita berdoa saja bagi semua anak-anakmu!”

Pada saat itu pula, Misyaila menyempatkan untuk menyapa sahabatnya, Siswi Karina, setelah sekian lama mereka tak bersama. “Bagaimana dengan keadaanmu, Siska?” Tanya Misyaila. “Aku cukup bahagia di sini, dan mendapatkan banyak pelajaran berharga dari Zipora.” Mendengar jawaban Siswi Karina itu, Zipora tampak sedikit tersipu, dan hal itu pun diketahui oleh Misyaila. “Syukurlah jika demikian!” ujar Misyaila, “dan aku harap kalian telah menjadi sahabat satu sama lain setelah sekian lama hidup bersama.”

Di tempat lain, di kota Naheret di negeri Farsa, si burung Hudan menceritakan semua perihal tugas yang telah dilaksanakannya untuk memberi kabar kepada Misyaila seperti yang diperintahkan Hagar dan Sophia. Ia ceritakan dan sampaikan kepada Hagar dan Sophia bahwa Misyaila saat itu tengah berada di Negeri Telaga Kahana untuk menjenguk dan mengunjungi ibunda Hagar dan Sophia.

Tak ragu lagi, Hagar dan Sophia merasa sangat gembira dengan apa yang diceritakan si burung Hudan. Betapa kangen dan rindunya mereka kepada ibunda mereka, rasa rindu yang selama ini mereka tanggung dengan sabar demi menuntut ilmu di negeri Farsa. Karena rasa gembira itulah, mereka pun menghadiahi kalung Kristal yang memiliki daya magis dan kekuatan mantra ajaib kepada si burung Hudan. Hadiah kalung Kristal tersebut tentu saja sangat bernilai istimewa, sebab kalung Kristal itu merupakan salah-satu warisan Zipora bagi Sophia dan Hagar. (Bersambung)  



Tidak ada komentar: